Catatan : Mary Toekan (Pemerhati Sejarah Islam)

Hitungan mundur para pengunjung secara spontan, mengawali cahaya Ramadhan yang mulai berdenyut di nadi jantung ibu kota Kerajaan Inggris Raya.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, 30 ribu lampu - lampu hias di Coventry Street yang menghubungkan Leicester Square dan Piccadilly seputar kawasan West End, London, dihiasi kerlip lampu - lampu bertulis " Happy Ramadan ".

Wali Kota London, Sadiq Khan secara resmi menyalakan lampu - lampu hias tersebut, sebagai tanda menyambut bulan suci Ramadhan bagi 1,3 juta Muslim London termasuk dirinya. Tahun 2021 lalu ia terpilih memimpin warga London untuk kedua kalinya.

Sejumlah jadwal iftar di berbagai tempat digelar komunitas Muslim di sana. Dari Museum Victoria and Albert di Kensington Selatan, Stadion Stamford Bridge milik klub bola Chelsea hingga kandang timnas Inggris Stadion Wembley, masuk dalam daftar jamuan Ramadhan.

Ma sha Allah...

Syukur tiada henti. Perlahan dan pasti dakwah Islam singgah di hati penduduknya. Eropa mulai memasang wajah ramah terhadap kaum Muslimin yang menjadi bagian tetangga - tetangga mereka meski tersisa beberapa negara yang masih tercekik Islamophobia.

Islam diamanahkan kepada Rasulullah SAW, sebagai pembawa risalah terakhir. Tugas kenabiannya selama 23 tahun usai setelah semua amanah sempurna ditunaikan.

Abu Bakar Ash-Shiddiq RA terpilih secara aklamasi memimpin kaum Muslimin dengan gelar Khalifah yang bermakna orang yang menggantikan.

Selama 2 tahun tiga bulan kepemimpinannya dihabiskan untuk mengatasi berbagai masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Rasulullah Muhammad SAW.

Berbeda dengan Abu Bakar RA yang terpilih secara aklamasi, Umar bin Khottab RA ditunjuk menjadi khalifah selanjutnya melalui wasiat sang khalifah sebelum wafat.

Diantara ring satu Nabi semasa hidup, Umar termasuk salah satu sahabat dengan peranan yang paling menonjol dalam sejarah Islam.

Sosoknya bijaksana dan tegas, kreatif, jenius, bercampur dalam diri Umar, sehingga untuk pertama kalinya Umar diberi julukan Amirul Mukminin atau pemimpin kaum Muslimin.

Nabi pernah berkata : " Seandainya setelahku masih ada nabi, niscaya ia adalah Umar bin Khottab ” [HR : As-Sunan, no. 3686 ].

Tak salah Rasulullah melisankan demikian. Umar RA tidak saja identik dengan tarawih dan kalender Hijriyah.

Di masa pemerintahannya, sahabat Nabi yang berpostur tinggi besar ini langsung menetapkan wajib militer, membentuk pasukan cadangan, pemisahan eksekutif dengan yudikatif hingga pembangunan infrastruktur.

Untuk mempermudah pengiriman logistik, Amirul Mukminin perintahkan membuat kanal antara Sungai Nil dengan Laut Merah, antara Sungai Eufrat dengan Sungai Tigris, dan membangun bendungan agar Makkah tak kebanjiran.

Di zaman Umar RA, Islam menyebar menutup kebesaran Persia dan Byzantium. Luasnya kekuasaan ini membuat Umar harus berpikir, membagi wilayahnya menjadi beberapa provinsi dan mewajibkan setiap gubernur untuk membuat laporan pertanggung jawaban tahunan saat musim haji tiba.

Tak cukup sampai di situ. Muhammad bin Maslamah, salah satu orang kepercayaan Nabi dalam misi - misi rahasia, digandeng Umar sebagai utusan khusus atau " KPK " nya Umar.

Jika tercium wangi tak sedap dari para  gubernurnya, yakinlah pintu rumah para gubernur itu akan digedor langsung Muhammad bin Maslamah. Tak ada yang lolos ketika diseret ke hadapan Umar.

Setiap tahun Umar menyelenggarakan sensus penduduk dan memberi hadiah kepada bayi - bayi Muslim  yang lahir. Negara menjamin hidup anak - anak yang kehilangan orang tuanya.

Ada 3 kementrian berperan penting dalam mengatur negara. Kementrian Militer dengan  nama Diwan al-Jund, Kementrian urusan bansos dengan sebutan Diwan al-Atha dan Diwan al-Kharaj adalah Kementerian Keuangan yang mengatur pendapatan dan pengeluaran negara.

Lembaga ini berbeda dengan Baitul Mal yang berfungsi sebagai Badan Penyimpanan Keuangan Negara sejak zaman Rasulullah.

Orang - orang fakir dari kalangan Ahlu Dzimmi ( non muslim yang tinggal di negara Islam) dan orang - orang yang lemah, oleh Umar tidak terkena jizyah.

Atas kebijakan Khalifah, non muslim dibolehkan masuk ke tanah suci Madinah  hanya dalam tempo 3 hari, semata - mata untuk urusan perdagangan.

Disamping membangun panti - panti sosial di setiap kota, Khalifah Umar juga membangun tempat - tempat peristirahatan untuk jama'ah haji sepanjang jalan menuju Makkah, lengkap dengan makanan dan tempat - tempat unta melepaskan lelah.

Bahkan pemimpin kaum Muslimin ini menyediakan lembaga khusus semacam rumah persinggahan bagi para musafir.

Tersebutlah di tahun 71 Hijriyah, Khalifah Umar  perintahkan membangun rumah persinggahan musafir dengan fasilitas lainnya secara gratis.

Tempat ini sekaligus sebagai tempat menyambung ukhuwah. Dar adh-Dhiyafah namanya. Rumah untuk menyambut para tamu berbuka puasa.

Tak ada alasan lain, sesungguhnya sang Amirul sedang meneruskan tradisi buka bersama ala Rasulullah SAW.

Awalnya sejumlah delegasi dari Thaif yang baru masuk lslam memutuskan berdomisili sementara di kota Madinah. Nabi SAW bersama Bilal bin Rabah mengantarkan sajian berbuka dan sahur kepada mereka.

Tradisi ini lalu diteruskan oleh Umar, kemudian putranya, sahabat mulia Abdullah bin Umar yang rutin berbuka bersama anak yatim dan orang - orang  belum mampu.

Budaya kebaikan itu mengalir dari generasi ke generasi. Ibarat wasiat cinta Rasulullah.

Alhasil, selama Ramadhan, masyarakat Timur Tengah selalu berbagi hidangan berbuka ataupun sahur. Tradisi ini akrab disebut ma’idat ar-rahman atau hidangan Tuhan.

Di Mesir, Ahmad lbn Thulun pendiri Dinasti Thulun ( 868 M - 967 M ) mengumpulkan para jenderal, saudagar, dan tokoh - tokoh penting dalam jamuan buka puasa dan menyerukan mereka berbagi atas keleluasaan harta yang mereka miliki kepada dhuafa.

Saat Khalifah AI Muiz Li Dinillah berkuasa, (975 M), ia memberikan 1.100 jenis  hidangan berbuka dari istananya untuk dibagikan kepada warga fakir dan kaum dhuafa. Jamuan buka puasa itu rutin digelar Khalifah di Masjid Amru Bin 'Ash.

Tradisi lain yang tak kalah menarik adalah kebiasaan menyalakan lentera saat memasuki Ramadhan.

Suatu waktu di awal Ramadhan, Umar RA  perintahkan menyalakan lentera di sekitar Masjid Nabawi untuk menerangi jama'ah yang akan mengikuti shalat Tarawih sekaligus tanda  datangnya bulan penuh berkah.

Kebiasaan ini lalu menyebar ke negeri – negeri Muslim. Di Andalusia, Masjid Agung Cordoba terlihat terang benderang laksana bermandikan cahaya batu permata.

Terhitung ada tiga belas bejana raksasa tempat menampung minyak terbuat dari emas, perak dan besi. Setiap lentera raksasa ini memuat seribu lampu yang akan terus dinyalakan sepanjang Ramadhan.

Di Mesir, tradisi ini dilestarikan hingga kini.  Lentera Ramadhan itu diberi nama fanus. Ketika Ramadhan datang, ribuan cahaya fanus akan mencahayai negeri Kinanah, negerinya para nabi.

Dari belahan Timur Bumi, masyarakat Utsmaniyah juga memiliki budaya ini. Mahya adalah tradisi di mana masjid - masjid dan menara azan dihiasi dengan lampu - lampu minyak. Menjadikan nuansa Ramadhan semakin syahdu.

Datangnya Ramadhan di Daulah Utsmaniyah terkesan megah. Istana kekhalifahan kebanjiran karangan - karangan bunga ucapan selamat dari berbagai delegasi negara - negara asing.

Lima belas hari sebelum puasa atau sepuluh hari sebelum berakhirnya bulan Sya’ban, kepala astronom istana mulai menentukan waktu imsak Ramadhan.

Tim khusus segera dibentuk untuk mensurvei kebutuhan pangan di pasar dan mengatur harganya. Khalifah sendiri bahkan ikut menentukan jenis gandum terbaik yang akan diedarkan di masyarakat.

Ketika fajar Ramadhan tinggal menghitung hari, hakim Istanbul mengirim utusan untuk meneliti terbitnya wujud hilal. Mereka akan bertebaran di jalan raya, mengumumkan jatuhnya 1 Ramadhan jika hilal Ramadhan telah nampak. Saatnya masjid - masjid menyalakan lampu - lampu gantung menyambut datangnya tamu agung kaum Muslimin.

Hari itu, Khalifah mengeluarkan perintah penyembelihan hewan ternak di berbagai tempat umum dan halaman yang luas di pintu - pintu Istanbul. Daging - daging sembelihan itu dihadiahkan kepada masyarakat khususnya orang fakir atau yang membutuhkan.

Para koki istana dibuat sibuk menghidangkan bermacam - macam jenis makanan, buah - buahan, minuman, kacang - kacangan kepada rakyatnya. Ramadhan menjadi ajang berbagi cinta. Tradisi ini oleh penduduk Utsmaniyah disebut Masabih Murjaniyah.

Istana akan membuka pintunya lebar - lebar bagi rakyat untuk menikmati jamuan buka puasa bersama sang khalifah. Di momen itulah  pemimpin kaum Muslimin tersebut dilimpahi doa - doa terbaik secara langsung dalam sujud - sujud khusyu' masyarakatnya.

Acara buka puasa bersama itu diawali dengan kemerduan tilawah Al - Qur'an. Para ulama adalah orang - orang pertama dalam daftar undangan. Jamuan berbuka akan di tutup pada hari keduapuluh empat Ramadhan. Tradisi ini terus berlangsung hingga masa Sultan Abdul Hamid II.

Sayangnya, keindahan kultur ini menghilang di sebagian besar masyarakat Turki sejak panggung politik dikuasai anak - anak muda yang telah dirasuki pemikiran sekuler.

Sebuah aliran yang mementingkan urusan dunia, memisahkan agama dalam setiap tarikan nafas kaum Muslimin. Akibatnya, lentera Ramadhanpun meredup, memberi sinyal hancurnya peradaban agung di belahan bumi Timur.

Kini menjelang seratus tahun sejak runtuhnya Daulah Utsmaniyah tahun 1924, cahaya itu justru menyembul di ufuk Barat. Senandung Ramadhan berkumandang indah. Dari alun - alun persimpangan dunia, Times Square, New York, kerlip Ramadhan perlahan menebarkan permata kebaikan menyelimuti mahkota Kerajaan terbesar di Eropa.

Begitulah jika Allah berkehendak.

Laga dakwah diberi sepotong asa.

Ramadhan menjadi ghirah kebangkitan.

Biidznillah......

Suluh penerang itu telah bercahaya.

Hangatkan kembali cinta yang terporak diantara kita lantaran terpicu urusan dunia. Jangan menyelisihi tradisi jamuan berbuka dengan amanah para khalifah. Mereka tak biarkan Maghrib menghilang, Isyapun ikut terbang, menyisakan tarawih dalam buai mimpi    tersebab jamuan buka bersama.

Tamu agung telah separuh jalan. Hujan ampunan silih berganti di siang maupun malam untuk semua yang mau berbenah. Semoga Allah mudahkan kita menjemput kemenangan di garis finish Ramadhan. Wallahu a'lam bishowab.

 

Geldrop, 17 Ramadhan 1444 H