Korupsi Diawal Pembangunan PLTMG Namlea

Pemerintah memprogramkan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) untuk mengatasi krisis listrik di tanah air. Kehadiran PLTMG guna menambah kebutuhan listrik bagi masyarakat Indonesia termasuk Namlea Kabupaten Buru, Provinsi Maluku.
Proyek pembangunan PLTMG 10 Megavolt (MV) di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kabupaten Buru adalah satu rangkaian dari 15 proyek kelistrikan pendukung pembangunan program 35.000 MW yang dicanangkan Pemerintah RI. Sebab PLTMG dianggap ramah lingkungan, bila dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau PLTD.
Sebab PLTMG menggunakan bahan bakar gas yang mana hasil pembakarannya tidak menuai polusi udara. PLTMG 10 Megavolt Kabupaten Buru, Provinsi Maluku itu dicanangkan pada 2016 silam. Tujuannya, untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat di bumi Bupolo (julukan Kabupaten Buru).
Keinginan pemerintah membangun PLTMG di Namlea Kabupaten Buru, terbentur dengan praktik penyelewengan. Hingga kini pembangunan infrastruktur PLTMG Namlea, baru sekitar 12 persen.
Padahal, pembangunannya ditargetkan sudah harus tuntas pada 2019, dan ditargetkan beroperasi pada 2020. Hanya saja, target Pemerintah dalam hal ini PT. PLN Persero Wilayah Maluku-Maluku Utara, sampai saat ini meleset.
Kebutuhan listrik menjadi dambaan masyarakat di kabupaten penghasil minyak kayu putih itu. PLTMG Namlea 10 MV sendiri dapat memenuhi kebutuhan pasokan kelistrikan di seluruh Kabupaten Buru.
Apalagi Provinsi Maluku telah ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN). Dengan beroperasinya PLTMG nanti akan memberikan nilai plus terhadap kebutuhan listrik di daerah itu, termasuk membantu pengusaha perikanan yang memiliki cold storage untuk mengembangkan usaha mereka.
Belum lagi tambang emas Gunung Botak dan Gogorea di Kabupaten Buru, jika nanti beroperasi atau dikelola pemerintah tentu juga membutuhkan pasokan listrik.
Namun PLTMG Namlea yang juga masuk pembiayaan investasi dengan jaminan pemerintah sama halnya dengan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU. PT. PLN (Persero) mendapat dana dari Lembaga Keuangan Bank Nasional melalui pinjaman kredit sindikasi senilai Rp7,91 triliun, pembangunannya belum kelar.
Aneh bin ajaib, belum sempat pembangunan pada 2016 lalu praktik korupsi sudah terjadi dalam proses pengadaan lahan untuk pembangunan proyek nasional itu. Bau korupsi menyengat. BPKP Maluku menemukan kerugian negara Rp.6 miliar lebih.
Terungkap ada penyelewengan dalam jual beli lahan seluas 48.645,50 meter persegi itu. Pada Oktober 2018 lalu, Kejaksaan Tinggi Maluku menerima laporan dari Mochamad Mukaddar, warga Kabupaten Buru yang juga mengaku sebagai pemilik lahan tersebut. Korps Adhyaksa Maluku lalu menangani kasus ini.
Satu per satu pihak terkait diperiksa jaksa. Antara lain; Ferry Tanaya (pihak yang mengklaim selaku pemilik lahan), Abdul Gani Laitupa, mantan Kepala Seksi pada BPN Namlea, PT.PLN UIP Maluku di Namlea, Pemilik lahan Mochamad Mukaddar, mantan Kepala Desa Namlea, Husen Wamnebo, dan mantan Camat Namlea, Karim Wamnebo.
Proses penyelidikan (2018) jaksa lakukan pengumpulan data dan bahan keterangan (puldata-pulbaket). Seterusnya pada 2019 kasus ini beranjak naik ke penyidikan. Tim penyidik lalu marathon lakukan proses penyidikan. Hasilnya, pada 2020 lalu dua orang ditetapkan sebagai tersangka.
Adalah Ferry Tanaya, pihak yang mengklaim selaku pemilik lahan/tanah tersebut, dan mantan Kepala Seksi di badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Buru, Abdul Gani Laitupa. Keduanya diduga terlibat konspirasi “main harga” dalam jual beli lahan seluas 48.645,50 hektar meter persegi itu.
Indikasi penyimpangan dalam jual beli lahan itu tidak mengikuti mekanisme Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebenarnya. Harga per meter tanah disiasati. Manipulasi dilakukan oknum tertentu dengan menaikan harga secara sepihak.
Padahal sesuai NJOP lahan itu hanya seharga Rp.36.000 per meter kubik persegi. Indikasi anggarannya dimarkup atau didongkrak menjadi Rp.131.600 per meter. Bila proses transaksi antara Ferry Tanaya dan PT. PLN wilayah Maluku-Maluku Utara dilakukan merujuk NJOP sebenarnya, maka lahan yang wajib dibayar (pihak PLN) hanya senilai Rp1.751.238.000.
Ihwal ini sudah masuk temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Maluku.
Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah atau Sporadik ditandatangani Ferry Tanaya dengan status tanah seluas 48,645.50 meter persegi itu kabarnya tidak punya sertifikat. Bahkan lahan itu diklaim Ferry Tanaya hanya berdasarkan Erfak tahun 1938, sedangkan tanah berstatus Erfak, tidak bisa diperjual belikan.
Meski begitu, pihak PT PLN Wilayah Maluku-Maluku Utara tetap membayar lahan dimaksud seharga Rp.6.4 miliar.
Sejumlah bukti yang sudah diperoleh tim penyidik, kiranya bisa menyingkap oknum lain yang diduga ikut kecipratan dana dari hasil jual beli lahan secara tidak wajar itu, dibongkar secara transparan ke publik.
Benarkah Ferry Tanaya dan Abdul Gani Laitupa saja yang bertindak “curang” dalam proses jual beli lahan tersebut? lalu seperti apa peran oknum PT. PLN (Persero) selaku pembeli lahan itu? Benarkah mereka (oknum PLN), tidak terlibat dalam kejahatan korporasi ini?
Tabir ini bisa dibongkar secara terang benderang, berpulang lagi kepada tim penyidik Kejati Maluku.
Substansinya, oknum yang ditetapkan sebagai tersangka hingga diadili di Pengadilan Tipikor Ambon kelak, adalah orang yang benar-benar atau wajib dimintai pertanggungjawaban dalam kejahatan tipikor jual beli lahan untuk proyek pembangunan PLTMG 10 MV itu.
Harapannya, penanganan perkara ini pihak Kejati Maluku harus tetap professional dan mengedepankan integritasnya.
Kejujuran tim penyidik dalam menuntaskan perkara ini sangat didambakan public. Siapapun yang terlibat, sudah sepatutnya diproses sesuai hukum yang berlaku di negara ini. (***)