Bagi penulis, akan lebih tepat dan terlihat akuntabel jika tuntutan jaksa adalah seumur hidup. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

Sebuah ketegasan penulis bahwa pada perbuatan ini harusnya ada pemberatan. Pemberatan tersebut pada esensinya meliputi dua hal prinsip.

Pertama, perbuatan itu dilakukan pada saat Negara dilanda bencana akibat pandemi Covid-19. Kedua, perbuatan tersebut dilakukan dalam jabatan sebagai Pejabat Negara. Dua hal tersebut secara expressiv verbis jelas, Bestandeel Delichtennya terpenuhi. 

Yang diharapkan masyarakat terhadap proses ini adalah hukuman seberatnya, bahkan sempat ramai terhadap kasus ini diterapkannya hukuman mati.

Artinya yang terlintas di benak  masyarakat Indonesia saat ini adalah hukuman mati atau seumur hidup. Namun ketika  melihat tuntutan jaksa hanya 11 tahun,  walaupun ada juga dendanya,  namun hal tuntutan tersebut begitu jauh dari nalar masyarakat. Termasuk penulis pun merasa sangat terkejut mendengar tuntutan jaksa terhadap terdakwa Juliari Peter Batubara.

Jika memang norma yang digunakan adalah pasal 12 UU No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, lantas pertanyaannya mengapa tidak dituntut hukuman seumur hidup? Sementara pasal a quo meenghendaki adanya hukuman seumur hidup.

Kelihatannya mudah sekali tuntutan jaksa terhadap perkara tersebut. Ini adalah pilihan kasih sayang atau penegakan hukum yang bermartabat ? Penulis tegaskan bahwa perbuatan keji ini harus dituntut seberat – beratnya terlepas dari nanti fakta persidangannya seperti apa, tapi jika dilihat dalam konteks teori maka ini jelas adanya kesejangaan Opzet.

Adapun kesengajaan  yang dimaksud penulis adalah “Kesengajaan Sebagai Maksud”  Opzet als oogmerk,  artinya antara motivasi pelaku untuk melakukan perbuatan, tindakan dan serta akibatnya adalah benar-benar terwujud.