Maluku Kaya, Bukan ‘Kerbau Sekandang Jalang’

“Padi sekapuk hampa, emas seperti loyang, kerbau sekandang jalang”. (Seseorang yang tampak kaya, tetapi sebenarnya miskin).
Maluku sepertinya kebalikan dari peribahasa di atas. Maluku kaya raya, bahkan memiliki harta karun berlimpah, tapi banyak ‘jeratan’ membuat jeritan pemiliknya tak kunjung usai.
Buktinya? Lembaran sejarah di masa kolonial masih bisa kita buka satu demi satu. Ketika Maluku diincar karena komoditi rempah seperti cengkih dan pala.
Harganya selangit saat itu. Sejarah menyebutkan, pada kisaran tahun 1599, harga cengkeh di pasaran dunia di-bandrol 35 real per bahar (550 pon).
Kemudian naik menjadi 50 real pada 1610, dan terus melonjak sampai 70 real per pon cengkeh atau setara 5 ons (1/2 kg). Jadi harga ½ kg cengkih setara dengan 7 gram emas. Nilai komoditi yang begitu besar membuat Belanda menjadi agresif dan protektif terhadap wilayah Maluku.
The Spice Islands, begitu bangsa –bangsa asing (Eropa) menyebut kepulauan Maluku yang kaya dengan rempah-rempah. Cengkih dan pala memang seperti primadona cantik yang tumbuh alami di tanah Maluku.
Rijoli (1994) menuturkan, ‘buah- buah emas’ inilah yang merubah sejarah Maluku dan Nusantara masuk ke dalam satu era kolonialisme Eropa selama hampir empat abad, dan melahirkan negeri yang kita kenal sebagai Indonesia.
Aroma Syzygium aromaticum dan Myristica- fragrans begitu menggoda. Sahwat Pemerintah Belanda makin tinggi hingga menugasi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Serikat Dagang Hindia Timur yang didirikan pada tahun 1602, untuk mengambil langkah yang diperlukan, dan sekaligus untuk mencari mineral berharga.
Tahun 1619, VOC mendirikan tiga pangkalan utama. Masing-masing, di kota Batavia (Jakarta), Amboina (sekarang Ambon), dan di Banda yang bertugas mengatur pemasaran dan memonopili komiditas cengkih dan pala.
Tapi 200 tahun lamanya mereka tidak pernah menemukan mineral berharga di perut bumi Maluku. Hingga tahun 1897, barulah kandungan minyak di perut bumi kota Bula, Pulau Seram ditemukan.
Catatan Engelina Pattiasina menyebutkan, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) anak perusahaan De Koninklijke atau dikenal The Royal Dutch pada tahun 1913 mengambil alih pengelolaannya.
Minyak berhasil keluar setelah pengeboran mencapai kedalaman 950 kaki atau sekitar 289 meter di dataran teluk Waru.
Apa jadinya sekarang? Waru atau Bula atau SBT tak ada yang istimewa. Tetap tumbuh seperti biasa. Bahkan terlihat seperti anak dengan stunting (perutnya buncit tapi tidak bergizi), mangandung jutaan barel minyak, tapi tumbuhnya kerdil.
Ini fakta. Ratusan tahun berlalu, tapi wilayah itu menurut BPS masih menyandang daerah termiskin dan memperkuat posisi Maluku dengan lebel yang sama di tingkat nasional.
Alih-alih Maluku bisa meleset jauh dalam pertumbuhan ekonominya. Harga cengkih merosot tajam, setelah komoditas ini berhasil dimonopoli perdagangannya hingga dibudidayakan secara luas. Pala pun demikian adanya.
Padahal, sejarah kita begitu gemilang. Pernah menjadi episetrum kekuasaan dan pusat kedikdayaan bangsa kolonial dalam mengekang tanah air ini. Kita pun menjadi penentu berdirinya NKRI.
Lantas apa yang salah? Negara belum berpihak? Jawaban-nya mungkin Maluku masuk dalam ‘jeratan’ regulasi yang begitu kuat.
Kebaradaan kita disejajarkan dengan daerah continental. Padahal kita berbentuk 'archipelago (kepulauan), jadi uang negara dibagikan berdasarkan hitungan luas daratan dan juga hitungan jumlah penghuninya. Itulah sebabnya Maluku yang kaya ini hanya menerima jatah setera dengan 1 kabupaten di Pulau Jawa.
Fakta lain menyebut, Maluku adalah provinsi dengan garis pantai terpanjang di Indonesia, mencapai 10.630 kilometer atau 11,17 persen dari 95.181 kilometer total garis pantai Indonesia. Posisi Maluku, menasbihkan Indonesia menjadi pemilik garis pantai terpanjang di dunia, bersama Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia.
Dengan garis pantai 10.630 km, Maluku memiliki laut seluas 654.000 kilometer persegi. Ada tiga wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang memiliki potensi perikanan dengan totalnya mencapai 3.055.504 ton/tahun.
Dengan rincian 431.069 ton/tahun di WPP RI Laut Banda (714), 631.701 ton/tahun di WPP RI Laut Seram (715) dan 1.992.731 ton/tahun di WPP RI Laut Arafura (718).
Tapi semua kekayaan itu tak mampu merubah nasib daerah ini. Maluku tetap menyandang daerah termiskin. Potretnya ada dimana-mana. 75 tahun bangsa ini berdiri kokoh, kita masih menyaksikan prahara di Negeri Niniari, Kabupaten SBB, cerita pilu di Kilmuri, Kabupaten SBT dan nestapa di Desa Neath dan Desa Liang, Kecamatan Leksula Kabupaten Buru Selatan.
Setelah cengkih, pala dan minyak bumi terungkap dan di-eksploitasi, muncul pula gas yang dilebali sebutan abadi ada di Masela. Kita pun berharap akan ada era disrupsi yang bisa menghantarkan kita ke throne (singgasana) kesejahteraan.
Begitu besar ekspektasi kita. Khayalan akan ada trickle-down effect dari mega proyek itu sudah ada di awan-awan, namun perdebatan secara terbuka terus menyasar kaum elite kita yang fokus pada kue Participating Interest.
Selain gas, bukti Maluku kaya tak bisa terbantahkan, legenda Gunung Botak di Pulau Buru salah satunya. Emas-nya meluap ke seantero nusantara dan pada akhirnya mati suri tanpa membawa berkelanjutan. Lagi-lagi jeratan regulasi menjadi penentu.
Sekarang ada lagi yang baru, penemuan emas di Negeri Musitoa Amalatu (Tamilow) Maluku Tengah. Apa jadinya nanti? Ekspektasi yang menggunung di benak kita jangan sampai pupus seketika.
Biarkan butiran-butiran emas yang didulang itu menjadi pelipur lara di hati rakyat, meskipun nanti hanya sepintas seperti kupu-kupu yang hinggap di taman-taman yang pada akhirnya harus lenyap pula terjaring regulasi. Maluku memang kaya. Wassalam (***)