BERITABETA.COM – Kisah pilu di Huamual diriwayatkan Georg Eberhard (Everhard) atau Rumphius seorang ahli botani asal Jerman yang bekerja di Vereenigde Oostindische Compagnie di Hindia Belanda.  Rumphius terkenal dengan karyanya Herbarium Amboinense.

Dalam beberapa catatannya,  Rumphius menyebutkan keadaan di Pulau Ambon masih mengkuatirkan sebab masih terjadi peperangan/pergolakan di Hitu dan Huamual dipimpin oleh Gimelaha Majira.

Perlawanan demi perlawanan kaum pribumi membuat kolonial Belanda di Maluku, begitu kuat menancapkan kuku koloninya di Maluku.  Ada tiga genarasi gubernur yang berkuasa dan barhasil  melulantahkan dataran Huamual  Pulau Seram yang terkenal di zaman itu.

Dimulai dari Gubernur Van Diemen, Gubernur Jan Pieters Coen dan yang terakhir Gubernur Arnold De Vlamingh Van Oudshoorn mereka berkuasa pada periodesasi tahun 1655 hingga 1661.

Kekuasaan tiga Gubernur VOC/Belanda ini disebut paling  kejam.  Dalam masa jabatan mereka  terjadi proses genosida (pembasmian/pembunuhan masal terhadap etnik/masyarakat Huamual).

Genosida telah mengakibatkan sedikitnya sekitar 50.000 jiwa tewas.  Belanda menghancurkan kehidupan masayarakat di Huamual. Para gubernur itu menggunakan kekerasan untuk monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku, terkhusus di Huamual.

Usai perang Huamual di tahun 1635 seorang tokoh belanda melaporkan kepada Pemerintah Belanda di Amesterdam bahwa “Huamual Taman Eden telah dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah, sehingga dikala pajar pagi menyinsing, tuan tidak akan dapat mendengar lagi ayam jantan berkokok,”

Huamual menjadi sepi dan sunyi dalam kekuasaan Belanda. Rumphius mengisahkan  banyak penduduk Huamual yang melarikan diri keluar dari daerahnya dan mencari pemukiman baru yang tersebar hampir di seluruh pelosok pulau terdekat di Maluku. 

Ribuan warga Huamual harus berdiam di tanah pengungsian. Merentang waktu yang cukup lama hingga beranak pinang. Mereka pun rindu untuk kembali setelah ratusan tahun berlalu hingga  terungkap kerinduan mereka dalam dalam sebuah pepatah “ Nunusaku Sama Ito Waelo Telo,” getaran jiwa yang sudah lama terpedam, ayo bangun kembali. (Rumphius : ‘De Amboncho Historie ).

Keinginan untuk kembali ke Nusa Ina (pulau Seram) seakan tak bisa terbendung lagi, terlebih saat pulau Ambon, Lease dan Banda di masa kependudukan tentara Jepang diblokir oleh sekutu. Maut kelaparan di waktu itu mengintai di ambang pintu,   hubungan dengan pulau Seram sebagai daerah penghasil terputus.

Namun apa daya dan upaya, penjajahan telah mengekang keinginan masyarakat Huamual untuk kembali. Masyarakat Huamual harus bersabar hingga Kemerdekaan Indonesia terwujud, barulah hasrat untuk kembali ke pulau Seram bisa terjadi.

Pergolakan Kota Masohi

Pascakemerdekaan Indonesia, cita-cita luhur yang terpendam selama itu, lahir ke permukaan, setelah  Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Tengah sebagai salah satu kabupaten di Maluku yang dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1952 tentang pembubaran daerah Maluku selatan dan pembentukan Maluku Tengah dan Maluku Tenggara.