Catatan :  M. Saleh Wattiheluw

Seperti ungkapan bijak "banyak berjalan banyak melihat". Catatan ini terkait perjalanan penulis di bumi Papua Barat yang diangkat sebagai refleksi dan telaah dari berbagai informasi tentang perkembangan di bumi Papua.

Kenapa Papua? Papua dan Maluku merupakan dua daerah yang pada zaman dulu sudah dikenal sebagai satu kesatuan, karena di dalamnya dihuni oleh orang-orang yang kita kenal dengan Ras Melanesia.

Dari catatan sejarah yang disadur penulis juga disebutkan,  sebelum Perang Dunia II, Pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan Papua dan para penduduknya di bawah Provinsi Maluku dengan Ambon sebagai ibu kota pemerintahan.

Menyatunya Papua dengan wilayah lain di Nusantara dipertegas dengan peta Pemerintah Belanda tahun 1931 yang menunjukkan bahwa wilayah colonial Belanda membentang dari Sumatra di sebelah barat sampai Papua di sebelah Timur.

Di masa lalu Papua disebut dengan “Samudranta“, yang menunjukkan bahwa daerah Papua telah di kenal oleh masyarakat pemakai bahasa Sansekerta yang bermukim di wilayah kepulauan Indonesia, baik dalam pengertian geo-politik maupun sosial ekonomi. dan budaya dalam arti luas.

Pada abad ke-13 seorang musafir Cina bernama Chau Yu Kua menulis bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat satu daerah bernama Tung-ki yang merupakan bagian dari suatu negara di Maluku. Tung-ki adalah nama Cina untuk Janggi atau Irian.

Keterikatan sejarah dua daerah ini patut dijadikan sebuah pijakan dalam melihat hal-hal postif terkait perkembangan pembangunan yang terjadi.

Papua dan Maluku mungkin saja berbeda dari sisi geografis, namun yang perlu dilihat bagimama geliat pembangunan yang ada di Papua dibandingkan dengan di Maluku. Salah satu yang menerik disimak adalah wilayah kabupaten Sorong, tepatnya wilayah Aimas, satu wilayah daratan yang dulunya hutan belantara kini berubah menjadi metropolitan di Papua.

Alun-alun Aimas

Aimas, awalnya dihuni oleh para transmigran dari Jawa.  Ribuan kepala keluarga  datang secara bertahap sejak tahun 60-70 hingga tahun 85-an,  hingga kini Aimas didominasi 55 persen penduduk asal Jawa dan juga berbagai suku disana.

Sekarang wilayah Aimas ini telah berubah menjadi satu kabupaten yaitu Kabupaten Sorong dengan ibu Kota Aimas yang  terletak kurang lebih sekitar 25 Km arah Selatan dari Kota Sorong, dengan jumlah penduduk sekitar kurang lebih 110 ribu jiwa.

Jika diperhatikan dan diamati pengembangan Kabupaten Sorong bertumpu pada sektor pertanian yang dikemas jadi argrowisata, pengembangan objek wisata alam serta objek wisata budaya ditopang Usaha Kecil Menengah semuanya memiliki prospek yang sangat menjanjikan dimasa depan dalam mendorang salah satu sektor penerimaan yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Kondisi ini memberikan satu kesan positif bahwa ketika satu wilayah diberikan kewenangan penuh menjadi satu daerah otonom, maka akan berdampak terhadap aspek sosial ekonomi dan kemasyarakatan. Fakta empiris dan masyarakatnya sangat bersyukur atas pemekaran wilayah Aimas menjadi Kabupaten dan tentunya tidak menapikan kekurangan.

Bahkan dalam waktu tak lama lagi, wilayah ini disebut-sebut  akan dimekarkan menjadi Provinsi  Papua Barat Daya yang di dalamnya termasuk Kabupaten Sorong dengan Aimas-nya.

Geliat Aimas, membuat kita terperangah jika menegok daerah kita Maluku.  Sebab di Maluku banyak daerah yang subur tersedia sumber daya alam yang berlimpah. Terutama dalam mendukung  rencana daerah otonom baru. Sebuat saja yang terjadi di Seram Utara dengan Kobisonta, di Kabupaten Buru dengan Waeapo.

Potret keberhasilan program transmigrasi ini patut dijadikan pijakan bahwa untuk membangun sebuah daerah, memang diperlukan adanya kegiatan memindahkan penduduk ke daerah yang ditujuh dan juga mempermudah proses pemekaran itu sendiri.

Pertanyaan sederhana adalah mengapa di Maluku untuk memekarkan desa atau kecamatan saja terkesan sangat susah? Padahal pemekaran menjadi salah satu konsep sekaligus solusi untuk menjawab tantangan persoalan sosial ekonomi di Maluku, terutama masalah kemiskinan.

Bagi penulis suka atau tidak, kebijakan pemekaran ini menjadi salah satu solusi yang sangat vital namun nyaris kurang terpikirkan secara mamaksimal oleh pemerintah daerah, pasca berakhirnya Pemerintahan Soeharto sampai dengan era Pemerintahan SBY.

Membaca hasil Studi Bappeda Provinsi Maluku tahun 2000 tentang kemungkinan pemekaran daerah otonom baru,  menyimpulkan terdapat beberapa wilayah potensial yang mesti didorong, diperjuangkan untuk dimekarkan. Mestinya Provinsi Maluku idealnya harus memilkiki 25 daerah otonom kabupaten/kota.

Kita bersyukur Maluku sudah berhasil memekarkan Kabupaten  Buru Selatan, Kab Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur,  Maluku Tenggara Barat (Kepulauan Tanimbar) Maluku Barat Daya (MBD) dan Kota Tual.

Namun, jika kita harus jujur melihat persoalan yang ada, sejarah terjadinya pemekaran kabupaten/kota itu terjadi semua atas inisiatif, dorongan dan tuntutan masyarakat. Padahal saat itu regulasi sangat memungkinkan dilakukan pemekaran daerah lebih banyak,  karena syarat pemekaran tidak terlalu sulit.

Inilah yang menjadi pertayaan apakah saat itu Pemerintah Daerah tidak mampu melihat sisi positif dari hasil pemekaran? ataukah memang berpura-pura bodoh, diam karena kepentingan kekuasaan?

Sekarang kita dihadapkan pada kondisi semakin sulit dengan regulasi dan di satu sisi terkunci dangan kebijakan moratorium oleh Pemerintah Pusat dengan alasan kemampuan keuangan Negara.

Artinya, ini sama dengan sesungguhnya para petinggi kita di Maluku terlambat dan kurang jeli membaca peluang di tengah kompetisi antar wilayah regional, antar provinsi, ketika regulasi sangat memungkin dan mudah saat itu.

Saat ini,  mampukah kita bangkit untuk terus memperjuangkan 13 calon Daerah Otonom Baru (DOB) yang telah berproses sampai ke Pempus,  meskipun masih terganjal moratorium?.

Hal ini perlu diperjuangkan lagi, sebab ke- 13 DOB yang diusulkan masih terdapat beberapa kekurangan syarat administrasi maupun syarat wilayah yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten.

Sebagai contoh calon DOB Kota Kepulauan Lease yang hingga kini masih terdapat kekurangan berupa  syarat persetujuan bersama Bupati dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah, mungkin juga untuk DOB Kabupaten Seram Utara, DOB Jasizah dan DOB Kepulauan Banda.

Semuanya tentu berpulang kepada pemangku kepentingan di daerah. Apakah masih bersedia untuk melihat dan merespons aspirasi masyarakat di daerahnya?, Harapannya jangan hanya berpikir kekuasaan tapi mengabaikan tuntutan masyarakat.

Sebagai contoh kemajuan yang terjadi di Papua, sebagai pemerhati pembangunan, penulis memandang pemekaran daerah otonom baru adalah salah satu solusi tepat untuk keluar dari himpitan problem sosial ekonomi dan pembangunan yang terjadi di Maluku.

Mengapa harus pemekaran? karena kinerja Pemerintah Daerah akan lebih maksimal, tidak harus manangani ragam masalah di sebuah kabupaten atau kota dengan luas yang menyulitkan dilakukan pemerataan.  Apalagi dengan geografis daerah berciri pulau yang tidak sebanding dengan kemampuan APBD kita.

Mestinya kita konsisten dengan sikap untuk membangunan cara pandang atau mindset kita mengedapankan "prinsif politik penganggaran".  

Potret keberhasilan  pembangunan di wilayah Aimas, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua yang tergambar di atas merupakan sebuah pukulan telak, bagimana orang Maluku harus berpikir lebih inovatif dengan melihat perubahan-perubahan drastis yang terjadi di daerah tetangga kita. Semoga !! (*)