Mengenang Para Tawanan Perang, Ny. Josina Soumokil Letakkan Karangan Bunga di Monumen Nasional
Catatan : Thomas Amelius Soumokil (Anak dari Dr. Chr. Soumokil)
Kedatangan Jepang di Hindia Belanda pada tahun 1942, menyisakan kisah pahit bagi orang Belanda, termasuk pegawai di seluruh Hindia Belanda. Salah satu kisah pahit, ketika Jepang mengirim puluhan ribu tawanan perang (interniran) ke Siam (sekarang Thailand) dan ke Birma (Myanmar).
Untuk menghormati korban Kamp Jepang di Birma-Siam ini, Stichting Het Indisch Platform 2.0 dan Stichting Vervolgingsslachtoffers Jappenkamp melakukan peringatan yang ditandai dengan peletakan karangan bunga di Nationaal Monument (Amsterdam). Isteri Dr. Mr. Chris Soumokil, Nyonya Josina Soumokil-Taniwel mendapat kehormatan untuk meletakan karangan bunga, sekaligus menyampaikan sapaan dalam kesempatan di pertengahan Agustus 2021 itu.
Josina Soumokil berterima kasih karena diberikan kesempatan sebagai isteri dari Dr. Mr. Chris Soumokil dalam acara itu. “Bukan hanya untuk suami Beta, tapi juga kepada orang-orang yang sengsara, hilang, pada waktu perang dunia kedua di Nederlands Indie,” kata Josina Soumokil dalam Bahasa Melayu.
Nyonya Josina Soumokil diberikan kesempatan karena dari puluhan ribu tawanan perang Jepang dari Hindia Belanda itu, termasuk suaminya, Dr. Mr. Christiaan Robbert Steven Soumokil atau yang lebih dikenal dengan Dr. Mr. Chris Soumokil, yang merupakan tokoh kemerdekaan Maluku Selatan.
Chris Soumokil menyelesaikan masa kecil sampai pendidikan HBS di Kota Surabaya. Chris Soumokil lahir dari pasangan Amelius Thomas Soumokil dan Agusta Francina van der Heijde (Indo Solo Belanda). Ayahnya bekerja di Kantor Pos Surabaya. Namun, Chris Soumokil berkesempatan melanjutkan pendidikan di Leiden karena mengikuti ayahnya yang dipindahkan ke Belanda.
Chris Soumokil mulai pendidikan di Universitas Leiden tahun 1923. Semula mengambil studi kedokteran selama dua tahun. Kemudian dilanjutkan dengan studi hukum di Universitas Leiden. Pada tahun 1934, di usia ke-29 tahun, Chris Soumokil selesai kuliah hukum dan memperoleh gelar Mr dan doktor hukum dengan disertasi “De deskundige in de Nederlandsch-Indische Jurisprudentie” di Universitas Leiden.
Pada 1935, Chris Soumokil kembali ke Hindia Belanda dengan Kapal Dempo dari Rotterdam ke Jawa. Satu tahun di Jawa, Chris Soumokil bergabung dalam organisasi Moluksch Politiek Verbond (MVP). Organisasi Maluku di Jawa ini didirikan Dokter WK. Tehupiory dan Dokter H.D.J. Apituley pada 15 Juli 1929. MVP berorientasi pada cita-ita nasionalisme Maluku/memajukan emansipasi rakyat Maluku dalam pengertian yang luas.
Chris Soumokil ketika masih sekolah di Jawa memiliki hobi berburu di alam bebas. Selain itu, juga sangat terampil memainkan musik hawaian yang dipelajari dari guru musik orang Maori di Belanda. Di masa kuliah di Belanda, Chris Soumokil gemar latihan tinju. Chris Soumokil sangat menguasai Bahasa Jawa, Melayu, Bahasa Belanda, Bahasa Inggris saat sekolah di HBS. Ketika studi di Leiden, Chris Soumokil juga mendalami Bahasa Prancis dan Bahasa Jerman.
Meski lahir di Jawa, Chris Soumokil sangat mencintai adat istiadat, mengajarkan relasi pela, gandong di Maluku. Dia berpandangan, Bangsa Maluku harus berdiri sederajad dengan bangsa lain di dunia, dan tidak dijajah bangsa lain. Selain itu, Bangsa Maluku harus sejahtera dengan kekayaan alam yang ada di Tanah Maluku.
Pada 1937, Chris Soumokil diangkat menjadi jaksa di Surabaya. Profesi jaksa dijalani sampai Jepang menjajah Indonesia. Soumokil tidak mau bekerja sama dengan Jepang, sehingga ditangkap Jepang. Chris Soumokil merupakan salah satu tawanan perang Jepang yang dikirim ke Birma-Siam.
Jalur kereta api Siam (Thailand)-Burma (Myanmar) ini dikenal sebagai “Jalan Kematian”, dengan panjang lebih 400 kilometer. Jalur kereta ini dibangun Kekaisaran Jepang tahun 1943 untuk mendukung pasukannya dalam perang. Selain di jalur kerata, romusha dan tawanan perang juga dipekerjakan di perkebunan.
Pada 30 Maret 1946, Kantor Berita Aneta yang dikutip Nieuwe Courant, melaporkan, selama tahun 1942 hingga 1943, ada 17.391 tawanan perang Belanda dipindahkan dari Burma ke Siam untuk bekerja di kereta api Bangkok-Moelwein. Dari jumlah tawanan perang itu, 3.096 di antaranya meninggal dunia. Namun, tidak diketahui lebih lanjut korban yang meninggal dalam periode 1944-1945. Karena tawanan dipindahkan oleh Jepang ke Singapura, Malaka, Indocina dan Jepang.
Namun, pada pekan pertama, Agustus 1946, Het Dagblad menginformasikan, kalau 1.600 penumpang dari Bangkok tiba di Surabaya dengan Kapal “Nieuw-Holland”. Sebagian besar merupakan mantan tawanan perang bersama keluarga. Di antara 300 perempuan dalam rombongan itu, juga terdapat orang Siam yang telah menikah dengan bekas tawanan perang.
Kemudian Januari 1947, Nieuwe Courant melaporkan lagi, kalau Kolonel Jepang Soegoesawa Ijoe, yang merupakan Komandan Administrasi Kereta Api Siam-Burma dari Agustus 1944 sampai penyerahan Jepang, telah dijatuhi hukuman dua belas tahun penjara. Dia menjabat komandan dari Agustus 1944-penyerahan Jepang. Kolonel Ijoe dituduh telah mengekspos tawanan perang yang menewaskan banyak orang, dan memperlakukan tawanan perang secara kejam.
Pada 1945, Jepang menyerah dan Sekutu membebaskan tawanan di Burma dan Siam. Setelah kembali ke Hindia Belanda, Chris Soumokil bekerja dengan Sekutu di Pulau Morotai sebagai Jaksa untuk mengadili pelaku kejahatan tentara Jepang dalam Perang Pasifik.
Inggris menyerahkan kekuasaan atas Kalimantan, Sulawesi, Maluku kepada Belanda pada Jumat, 13 Juli 1946. Kemudian pada 16 Juli-25 Juli 1946 digelar Konferensi Malino. Konferensi ini menghasilkan keputusan untuk membangun ketatanegaraan baru di Wilayah Hindia Belanda dengan bentuk Negara Indonesia Serikat. Keputusan konferensi ditandatangani Tjokorda Gde Raka Sukawati, Nadjamudin Daeng Malewa, RJ. Methekohy, Asikin Noor dan Sultan Hamid II.
Di masa Negara Indonesia Timur (NIT), Mr. Dr. Chris Soumokil menjabat Menteri Kehakiman dan Jaksa dalam Kabinet Nadjamoedin Daeng Malewa II (Mei 1947-Oktober 1947), Kabinet Semuel Jusof Warrouw (Oktober 1947-Desember 1947) dan Kabinet Ida Anak Agung Gde Agung I (Desember 1947-Januari 1949).
Selain itu, pada 8 Desember 1947-17 Januari 1948, Mr. Dr. Soumokil, Raden Abdul Kadir Wijoyoatmodjo dan Dr. P.J. Koets dipilih untuk ikut dalam Konferensi Renville.
Setelah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), Soekarno, yang waktu itu ditunjuk sebagai Presiden RIS, mulai meleburkan RIS dan mengubahnya menjadi NKRI secara sepihak melalui keputusan-keputusan presiden. Padahal mekanisme perubahan bentuk ketatanegaraan RIS hanya boleh dilakukan melalui plebisit yang hasilnya harus diratifikasi oleh perwakilan dari tiap-tiap daerah yang bersangkutan.
Merespon situasi itu, Chris Soumokil dengan beberapa dasar pertimbangan hukum memutuskan untuk melaksanakan dengan sungguh hak untuk menentukan nasib sendiri yang sepenuhnya dimiliki penduduk Maluku Selatan.
Adapun beberapa pertimbangan hukum yang dijadikan sebagai dasar pembentukan Republik Maluku Selatan (RMS), yakni, Pertama, hubungan secara bersyarat antara wilayah Maluku Selatan dengan Negara Indonesia Timur melalui Keputusan Dewan Maluku Selatan (DMS) tertanggal 11 Maret 1947 untuk pelaksanaan kemerdekaan Maluku Selatan jika NIT tidak memperhatikan kepentingan Maluku Selatan. DMS ini merupakan parlemen Maluku Selatan dalam NIT yang merupakan hasil pemilu tahun 1946 dan pemilu tahun 1948, berkedudukan di Ambon.
Kedua, kutipan dari Muktamar Denpasar tanggal 7-24 Desember 1946, pasal 5 ayat 1 dan 2: “Negara memperkenankan kepada kelompok-kelompok rakyat untuk menentukan nasib sendiri melalui saluran demokratis dan berdasarkan peraturan yang disusun oleh Mahkota Belanda dengan permufakatan dengan negara dan kepada kelompok-kelompok tersebut yang tetap berada di wilayah Negara Indonesia Timur diberikan kebebasan untuk hidup sesuai dengan kepribadian masing-masing, dalam hal ini termasuk juga mengurus rumah tangga sendiri (ayat 1).
Dalam tindakan yang akan diambil untuk membagi-bagi wilayah negara dalam daerah-daerah otonom harus dipergunakan sebagai pedoman keinginan penduduk yang bersangkutan, hal ini merupakan suatu unsur terpenting.
Dari hasil pertimbangan secara juridis mengenai hak-hak berbagai wilayah yang membentuk NIT untuk menentukan status akhir kenegaraan mereka di dalam NIT, dimana Maluku Selatan adalah salah satu wilayah tersebut, maka dilakukan plebisit oleh DMS. Hasil plebisit itu adalah Maluku Selatan harus merdeka dan berdiri sendiri terlepas dari NIT dan dari RIS. (**)