Menjaring Aksara Merekat Sejarah

Waktu kerusuhan Ambon, oleh petinggi kemiliteran di sana, papa diminta ke Jakarta. Info yang diterima, papa dalam target yang akan dilenyapkan. Namun papa tetaplah papa dengan jiwanya yang dulu. Ibarat pawang yang bisa menjinakkan Singa yang sedang lapar, papa mampu menurunkan suhu pertikaian Ambon.
Meskipun nyawa taruhannya, papa kembali ke Ambon. Beliau hanya titipkan ibu kepada kami di Jakarta. “Umat harus diselamatkan, ” kata papa saat itu.
Mendamaikan dua kubu yang sama- sama terluka, sama- sama kehilangan orang orang tercinta, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Bersama tokoh agama di Ambon, mereka sepakat merenda kembali rasa yang terlanjur koyak.
Aku saksinya, melihat ibu yang selalu gelisah memikirkan nyawa papa yang setiap detik bisa terancam hilang. Alhamdulillah ! Damainya Ambon adalah salah satu sumbangan papa saat menjabat Ketua MUI Maluku.
Dari dulu papa memang sudah terlihat mempunyai jiwa pemimpin yang berizzah. Kelebihan ini, nampaknya menjadi magnet dikalangan mahasiswi. Banyak dari mereka yang nekat melayangkan surat cinta.
Ibuku di tahun yg sama, diterima di fakultas IKIP jurusan bahasa Inggris. Musyahadah Asnawi. Lahir dari keturunan pedagang tgl 21 April 1939 di Samarinda. Siang itu, bersama teman teman wanitanya, bertugas mendekorasi sebuah ruangan yang akan dipakai untuk acara HMI.
Bisik- bisik para wanita saat papa masuk untuk pastikan kesiapan ruangan, sedikit mengganggu konsentrasi ibu yang sedang mendekor. “Kak Idrus…kak Idrus,” panggil wanita -wanita ini mencari perhatian.
Pada dasarnya ibuku tak suka orang Ambon. Benci tak beralasan. Eh ! Rasis juga ibuku ini. Papa bagaikan ada namun tiada. Namanya laki- laki, dianggap angin, justeru malah menjadi nilai plus.Tebar pesona mengawali strategi penaklukan.
Malam minggu, di halaman asrama wanita, papa memarkir sepedanya. Terlihat beberapa motor dan skuter yang sudah terparkir lebih dulu. Jaman itu skuter termasuk kendaraan mewah. Cuma orang orang berduit yang bisa mengendarainya.
Buat papa, kalau cuma soal petantang petenteng, tak bakal dianggap. Percaya diri papa tak akan melorot jika hanya sekedar perkara alat transportasi.
Benar juga. Di ruang tamu tempat ibu, telah duduk seorang pemuda. Si pemilik kendaraan mewah itu, tentu saja mengenal papa ( di era pak Harto, pemuda ini sempat menjadi salah satu menterinya). Tak mundur sejengkal, papa tak ingin kehilangan kesempatan.
Kedewasaan dan kesabaran papa, perlahan merobohkan tembok kebencian ibu. Panah itu telah dilesatkan menembus ruang – ruang jantung pujaan hati.
Perjuangan memenangkan hati ibu tak sampai di situ, sebab opa Abah (papanya ibu) tak begitu yakin kemusliman papa.
Maluku yang terkenal dengan pasukan Belanda Hitam (KNIL), membuat opa Abah serius akan bibit, bebet, bobot pemuda Ambon yang akan menemani putri semata wayangnya sepanjang hidup.
Dengan menumpang kapal motor kecil, puluhan hari papa lewati di tengah dinginnya malam, membelah samudera dari Ambon menuju Samarinda, adalah bukti cinta papa kepada ibuku.
Tanggal, 27 Desember 1962, papa memenuhi janjinya, menikahi ibu. Sambil mengetik skripsi ditemani ibu, mereka menghabiskan bulan madu di ” Roemah Djoeang ” di jalan Panglima Batur Samarinda. Ibuku sudah lebih dulu meraih sarjana.
Keluarga ibu keluarga pejuang. Mereka pahlawan- pahlawan tangguh. Tak ada kata damai dalam kamus mereka melawan penjajah Belanda. Opa Abah kadang bergerilya membawa keluarganya keluar masuk hutan. Rumah mereka adalah markas perjuangan karenanya rumah itu diberi nama Roemah Djoeang.