Papa memboyong ibu kembali ke Jogja, mempertanggung jawabkan karya ilmiah papa. Satu tahun perjalanan waktu, hadir putri kecil dlalam keluarga ini. 𝗠𝗮𝗿𝗱𝗵𝗶𝘆𝗮𝗵 𝗛𝗮𝘆𝗮𝘁𝗶, nama yang dipilihkan 𝗕𝗨𝗬𝗔 𝗛𝗔𝗠𝗞𝗔, sebagai hadiah untuk  papa dan ibu. Ibuku menambahkan 𝗜𝗱𝗮 di depannya.

Usai bergelar Doktorandus, papa membawa keluarganya ke Ambon. Banyak teman papa yang  menyayangkan keputusan papa kembali ke daerah, mengingat potensi papa yang begitu berkilau.

Papa orang paling amanah. Ketika daerah merogoh saku untuk  kelanjutan sekolah papa,  papa pasti kembali melunasi janji, membangun daerahnya, meskipun banyak teman seangkatan papa menjadi petinggi petinggi partai di pusat, menjadi orang orang penting di ring satu penguasa saat itu.

Setiap tahun, di ibu kota Maluku Tengah, Masohi,  terdengar tangisan bayi yang lahir di rumah mereka, menambah kehangatan keluarga papa dan ibu. Ibu yang nota bene sarjana IKIP, tidak diizinkan papa kerja. Papa lebih memilih titel sarjana ibu untuk mendidik langsung putra putri mereka. Jabatan Sekda Maluku Tengah menjadi jabatan pertama papa setelah lulus dari Jogja.

Sempat menjadi dosen APDN di Ambon setelah tugas di Masohi, sering rumah kami menjadi bilik kampus mahasiswa yang mengejar ilmu. Satu waktu, papa mendapati aksi ibu mengganti posisi papa, gara -gara sering mendengar kuliah papa. Ibuku memang lucu, wanita smart, bravo Mom !

Dua tahun setelah kehadiran si bungsu di Ambon, kembali papa harus berkemas, mengambil sumpah. Daerah Administratif Halmahera Tengah, daerah yang sedang dipersiapkan menjadi daerah tingkat II yang otonom, diberi kepercayaan di bawah kuasa papa.

Secara de facto sejak tahun 1969, Halmahera Tengah telah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sejajar dengan daerah tingkat II lainnya di provinsi Maluku. Dua periode papa memimpin wilayah pertengahan pulau terbesar di Maluku ini.

Karena luasnya wilayahnya, tahun 2003, Halmahera Tengah dibagi tiga otoritas. Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan.  Di pulau ini kami dibesarkan.

Cinta kami tak lekang berlabuh di tanah spesial ini. Ada moment yg menyimpan rindu. Rindu akan cahaya purnama, membias di atas hamparan gelombang, menciptakan siluet pulau halmahera yg membentang. Rindu akan deru ombak yg membentur batu – batu di pesisir pantai.

Jelang senja, akan pulang jutaan burung – burung gereja, melepaskan malam di pucuk pucuk nyiur. Pemandangan ini terlihat langsung dari teras rumah kami. Aaaahh !! Sungguh aku ingin memetik moment itu.

*****

Majelis Ulama Indonesia Maluku, menjadi tempat terakhir papa mengemban amanah. Papa terpilih secara aklamasi di periode kedua, sayangnya…waktu papa telah habis. Izinkan kami mengambil tongkat estafetmu  papa, walau tak akan sebesar peranmu.

Saat cahaya fajar datang di ufuk Timur, papa pergi bersama malam menemui Sang Khalik, bertemu ibu yang memendam rindu di tempat para malaikat. Ibu yang menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan papa.

Papa bukan milik kami saja. Papa milik masyarakat yang mencintainya. Mereka sedang menanti jenazah papa untuk penghormatan terakhir di Ambon.

Ada pesan papa yang selalu kami jaga. Jangan menunda nunda waktu pemakaman. Ketika ibu wafat, papa tak mau menunggu lama. Aku yang jauh di negeri seberang memohon ingin melihat wajah ibu yang terakhir. Tidak !! tegas suara papa. Jenazah ibu harus segera dikebumikan.

Hal ini menjadi pertimbangan kami saat Gubernur Maluku Ir. Said Assagaff ingin memenuhi permintaan masyarakat Maluku. Apalagi makam ibu ada di Jakarta. Ibu yang selalu mengalah, mengikhlaskan seluruh waktu papa untuk masyarakat.

Kali ini, kami akan mengembalikan papa kepada ibu, meskipun hanya sebatas raga yang saling menemani. Tapi di sana, di tempat seluas langit dan bumi, In sha Allah, Allah menyatukan cinta mereka dalam keabadian.

Cinta yang sederhana namun teristimewa, penuh akan rasa, hanya ada pada orang- orang yang diikat hatinya oleh Sang Maha Cinta.

Kisah ini sengaja ku simpul satu persatu, kurekatkan potongan demi potongan, hingga membentuk sepotong sejarah dalam keluarga kami.

Semoga menjadi pijakan yang kokoh, kemana arah akhir perjalanan kami yang tak mungkin meletakkan nama mereka tertelan masa, berakhir dalam lembaran tak bertuan. Robb, limpahi mereka dengan cinta dan kasihMu.

Geldrop, 5 Jumadil Awal 1442 H