BERITABETA.COM - Matahari seakan tak kuasa berlama-lama di ufuk barat. Cahaya merah mulai membias di atas kulit laut.  Hanya perahu-perahu nelayan yang terapung digoyang arus.   

Tiga pasang kaki baru saja menginjakkan kakinya di atas tambatan kayu dermaga kecil di negeri itu. Ihamahu, begitu orang menyebut negeri di Pulau Saparua itu.  

Senja pada Sabtu 23 Oktober 2021 itu, seakan membuat kaki-kaki kami tak mau beranjak dari dermaga itu. Apalagi sesekali aroma pati sagu yang terbakar sepintas melewati penciuman kami.

“Indahnya pemandangan ini. Sore ini benar-benar mata dibuat puas dengan panorama alamnya,” ucap Rifa seorang ASN di Pemkab Malteng yang baru saja tiba di desa itu dalam sebuah penugasan.

“Ayo mari katong (kita) foto-foto, mumpung ada sunset yang indah!,” ajak saya seraya mengemas kamera pada handphone yang saya genggam.

Hanya dalam hitungan detik, jepretan kamera di handphone sudah menyimpan momen-momen indah itu. Ada latar Pulau Seram dari kejauhan ada pula perahu-perahu nelayan yang berlabu di atas laut memerah itu.

Noraito Amapatti, begitu sebutan lain dari negeri Iha Mahu, negeri berpenduduk sebanyak 1.613 jiwa (data tahun 2018) ini,  sejak dulu memang menyimpan banyak keunggulan. Salah satu yang menonjol di zaman dulu adalah pelestarian lingkungan negeri,  melalui aturan adat berupa sasi (larangan panen) hasil bumi.

Tradisi sasi yang kuat, membuat ragam hasil alam seperti cengkih, pala dan biota laut berupa teripang, siput laut dan hutan bakau di negeri itu cukup dilindungi.

Hasilnya di tahun 1982, Iha Mahu pernah dianugerahi penghargaan Kalpataru berdasarkan penyungguhan Universitas Pattimura, Ambon.

Bukan saja itu. Negeri kembaran Iha ini, juga dihuni para pekerja nan terampil dalam mengola banyak aneka kuliner.

Ada puluhan pengrajin kuliner disana. Sebut saja pembuat produk olahan dengan bahan dasar pati sagu. Dari keterampilan ini, Iha Mahu banyak menelorkan produk-produk olahan yang dikenal di seanteru Maluku.

Sunset di Pantai Iha Mahu

 

Ketenaran Iha Mahu juga sudah teruji. Selain Kalpataru,  lewat Surat Keputusan (SK) Gubernur Maluku Nomor 335 tahun 2021 tanggal 12 Juli 2021, Iha Mahu juga dinobatkan sebagai negeri pemenang kedua dalam lomba desa/keluarahan se- Provoinsi Maluku. Negeri itu menyabet trofi dan bonus sebesar Rp 30 juta pada momentum itu.

“Iha Mahu memang sudah lama menjadi modeling dalam pengembangan berbagai produk olahan. Home industry disini banyak dilakoni para ibu rumah tangga yang mengantungkan hidupnya untuk mengolah pati sagu menjadi aneka kue,” ucap Ketua PKK Kecamatan Saparua Timur Ny. Ema Pical/Pattisahusiwa.

Pengakuan Ema Pical/Pattisahusiwa juga dikuatkan oleh ibu raja (nyora) Negeri Iha Mahu Tail Rubekha Ruth yang mengaku  geliat home industry di negeri itu sudah didorong menjadi lebih modern.

“Semua produk berupa bagea dan sarut (olahan pati sagu) sudah ditata dengan melakukan pendekatan modern. Misalnya, memiliki izin halal dari Majelis Ulama Indonesia dan juga izin dari instansi terkait,” bebernya.

Ekspansi aneka kue sagu yang dihasilkan para pengrajin di Iha Mahu membuat sejumlah pihak ikut serta dalam upaya pengembangannya.

Sebut saja pada November 2020, sejumlah ibu di Negeri Iha Mahu juga diikutkan dalam  pelatihan cara menambah nilai produk yang diinisiasi oleh Walang Perempuan.

Salah satu lembaga pemberdayaan masyarakat yang fokus pada peningkatan ekonomi perempuan. Sebanyak 25 ibu rumah tangga dan sebagian pria dari Desa Ihamahu berkumpul membentuk kelompok usaha.

Mereka punya tugas berbeda. Para lelaki membuat sagu tumang sebagai bahan baku kue tradisional. Sementara para ibu mengumpulkan kenari dari petani di kampung dan mengolah sagu tumang menjadi aneka kue.

Olahan kue sagu pengrajin di Negeri Iha Mahu

Obe Leatemia salah seorang pengrajin mengaku dia membuat kue dengan peralatan yang digunakan turun-temurun.

Satu alat yang paling berjasa dalam proses pembuatan kue bernama porna.

"Porna berfungsi seperti oven. Kami memakainya turun-temurun sejak tahun 1965," kata Obe seperti dikutip Tempo, Selasa 15 Desember 2020.

Obe memasok kue tradisional itu ke para pelanggan tetapnya di Kota Ambon dan Kecamatan Saparua.

Mereka mengambil dagangan Obe kemudian menjualnya lagi. Sekantong kue bagea dan kue sarut seharga Rp 10 ribu, kue sagu tumbu Rp 5.000. Di Ambon, harga kue ini dijual dengan selisih Rp 5.000 - 10 ribu lebih tinggi.

Cara membuat bagea dan kue sarut cukup mudah. Kue bagea terbuat dari campuran sagu, air, dan garam. Sagu harus dijemur dulu untuk mengurangi kadar asamnya. Setelah itu seluruh bahan dicampur dan dibentuk lonjong, kemudian dipanggang di dalam oven.

Setelah matang, tinggal menikmati camilan bercita rasa asin gurih ini. Sementara kue sarut merupakan campuran dari tepung sagu, gula merah, dan kenari. Cara pengolahannya mirip dengan bagea.

Dari tangan-tangan terampil mereka, di masa pandemi Covid-19, usaha mereka tetap berjalan.  Obe dan puluhan pengrajin tetap berkiprah dengan menyiasati proses produksi karena harga bahan baku merangkak naik.

Sagu tumang yang biasanya seharga Rp 70 ribu, kini menjadi Rp 100 ribu. Sementara Obe juga harus memikirkan pengemasan yang menarik supaya kue-kuenya dilirik pembeli.

Jika dulu mereka menggunakan plastik bening yang direkatkan dengan api, sekarang pengemasan semacam itu dianggap kurang pantas.

Para pengrajin sudah lebih inovatif dengan menggunakan plastik berklip dan menambahkan stiker merek. Bagea buatan Obe dijual di dua pasar swalayan di Ambon, yakni Swalayan Planet 2000 dan Galaxy.

“Harga bagea kenari Rp 15 ribu, bagea bawang Rp 17 ribu, dan kue sarut Rp 10 ribu per bungkus,” pungkasnya.

Geliat usaha produk turunan pati sagu di Ihamahu kini sudah memiliki pasar yang tetap. Selain pengetahuan tentang cara meningkatkan kualitas produk sudah di miliki, soal variasi rasa sudah menjadi keahlian Obe dan sejumlah rekannya.

Kini ragam kue dari bahan dasar pati sagu itu bahkan sudah menembus pasar digital. Banyak pelapak yang sudah memajang olahan para pembuat kue sagu asal Iha Mahu itu.

“Semua yang menjadi syarat kelayakan pemasaran sebuah produk home idustri sudah di miliki, mulai dari izin usaha, izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk aneka kue tradisional ini,” tutup Nyora Tail Rubekha Ruth.

Saat ini, Negeri Noraito Amapatti seakan menjadi magnet tersendiri bagi setiap pengunjung yang datang ke Kecamatan Saparua Timur, bahkan kerap ada pameo yang menyebut “Bila belum makan bagea dan sarut dari Iha Mahu, Anda belum sempurna berada di Kecamatan Saparua Timur (*)

Pewarta : Edha Sanaky