BERITABETA.COM, Ambon  – Kasus warga Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku yang berobat ke negara tetangga Timur Leste, akhirnya ditanggapi Menteri Kesehatan (Menkes) RI Nila Moeloek.

Dalam kunjungan ke Kota Ambon, Menkes menyesalkan anggaran yang telah diberikan Pemerintah Pusat pada tahun 2016 silam untuk pembangunan fasilitas kesehatan di Pulau Lirang justru dialihkan untuk membangun RSUD di Tiakur, pulau Moa Lakor, ibukota Kabupaten MBD.

“Harus matang (kajian dan perencanaan) dulu, emang ini mau bikin apa, ini uang negara, nggak boleh main-main, udah dikasih nggak dijadikan, itu jadi masalah, sekarang harus bener-bener, kalau nggak dipertanyakan Kemenkeu,” tegas Menkes Nila Moeloek kepada wartawan saat menghadiri Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) Provinsi Maluku tahun 2019 di Santika Hotel, Ambon, Senin (8/4/2019).

Diketahui keputusan Pemerintah Kabupaten MBD untuk membangun RSUD di Tiakur  dalam rangka mengantisipasi Blok Masela. Sayang, keputusan itu berakibat warga pulau Linrang yang sakit terpaksa harus menyeberang ke Timor Leste, untuk berobat.

Menkes mengatakan, untuk memberikan hak warga terhadap pelayanan kesehatan,  pemerintah akan membangun Rumah Sakit Pratama di Pulau Lirang,  “Nanti kita akan berikan Rumah Sakit Pratama, proposal sudah diterima, nanti dikaji. Jika perencanaannya matang kita ajukan ke Kemenkeu dan Bappenas (agar bisa) disetujui tahun 2020 akan dijadikan,” kata Nila.

Menurutnya, Pemerintah Daerah harus bisa bekerja sama dengan Pemerintah Pusat. Kerjasama yang baik diperlukan karena persoalan daerah mereka yang lebih mengetahui.

“Daerah juga harus kerjasama yang baik, makanya judulnya kolaborasi pusat dan daerah. Kan saya tidak setiap hari ada disini, yang tau kan orang Lirang, seharusnya dia tahu kebutuhan masyarakatnya. Saat kebutuhan masyarakat kita akan bersama-sama cek and ricek kemudian kita berjuang untuk minta uangnya. Ini uang rakyat, harus kembali ke rakyat,” sebutnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, dr. Bambang Wibowo, mengatakan dari target pembangunan 64 Rumah Sakit Pratama di Indonesia, 62 dua unit telah selesai dibangun. Rumah sakit Pratama diberikan kepada sejumlah wilayah yang belum memiliki Rumah Sakit maupun kawasan perbatasan, “Tahun ini tinggal dua (unit yang belum selesai). Kalau ada kebutuhan bisa diajukan dan akan segera dikaji, kalau diperlukan maka menjadi kewajiban untuk memfasilitasi,” jelasnya.

Menurutnya, yang paling penting jika permintaan sudah disetujui Kementerian. Sehingga diharapkan daerah bisa menyiapkan instalasi Sumber Daya Manusia (SDM) dan operasionalnya. “Kalau minta, juga harus konsekuen, jangan sampai dibangun Rumah Sakit Pratama tapi tidak disiapkan instalasi SDM dan biaya operasional. Tapi kalau sama-sama komitmen, Insya Allah akan disetujui, sebagai sebuah kebutuhan yang harus,” pungkasnya.

Surat Kedubes Untuk Pemprov Maluku

Atas insiden itu, Kedutaan Besar (Kedubes) Timor Leste untuk Indonesia telah menyurati Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku untuk mempertanyakan kejadian warga Pulau Lirang yang berobat ke Timur Leste.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, Meikal Pontoh, mengaku pihaknya menerima surat dari Pemerintah Indonesia terkait permasalahan tersebut pada  Maret 2019. “Permasalahannya kita belum ada imigrasi. Mereka Timor Leste terima karena faktor kemanusian,” kata Pontoh.

Pada tahun 2016 lalu, lanjut  Pontoh, alokasi dana DAK Afirmasi pernah dikucurkan untuk tiga Kabupaten terpencil. Diantaranya Tanimbar, Kepulauan Aru dan Pulau Lirang, MBD.  Hanya saja, tambah dia, dana DAK itu dialihkan Pemerintah Kabupaten MBD untuk pembangunan Rumah Sakit dalam rangka mengantisipasi Blok Masela.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, Pontoh mengaku pihaknya melalui Dinas Kesehatan MBD akan mengajukan usulan pembangunan Rumah Sakit di Lirang pada tahun ini.

“Tahun ini MBD mendapatkan lagi Dana DAK Afirmasi dan Pulau Lirang di tahun 2020 akan diusulkan Dinkes MBD dengan alasan yang tadi itu karena surat dari kedutaan besar (Timor Leste),” jelasnya.

Warga di Pulau Lirang dan sekitarnya, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten MBD, hingga saat ini masih kesulitan untuk mendapatkan akses kesehatan. Di pulau yang menjadi perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste itu hanya terdapat satu unit puskesmas. Tidak ada dokter di tempat pengobatan itu, yang ada hanya enam orang diperbantukan sebagai tenaga medis. Untuk fasilitas kesehatan kurang memadai dan obat-obatan terbatas.

Akses kesehatan itu tidak mampu menjangkau jumlah penduduk sekitar 1.118 jiwa atau 236 Kepala Keluarga (KK). Ditambah lagi puskesmas itu juga menjadi pusat pengobatan bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau sekitar Pulau Lirang.

Sehingga, para warga yang membutuhkan pengobatan secara intensif memilih untuk berangkat ke Ambon, Maluku, menempuh perjalanan laut sekitar 20 jam. Ataupun memilih berobat ke Negara Timor Leste.

Untuk sampai ke negara yang dulunya merupakan bagian dari Indonesia tersebut, warga hanya menempuh perjalanan laut sekitar 2 jam 30 menit.

Bagi warga, perjalanan ke Timor Leste tidak memerlukan paspor, tetapi cukup menunjukkan surat jalan dan kartu identitas. “Lautan tenang 1 jam lebih kalau ke Dili (Ibu Kota Timor Leste,-red), 2-3 jam dengan speed boat. Kasih surat jalan. Tidak ada ambulans, pakai kapal masyarakat,” ujar Manuel Cornelis salah seorang warga Pulau Lirang seperti dikutip tribunnews. (BB-DIO)