Karena meski nantinya kapal ikan eks asing tersebut berbendera Indonesia, namun kegiatan perusahaan dan kapal tetap dikendalikan oleh pemilik modal yang berasal dari luar negeri. Sebelumnya pun, hampir seluruh kapal ikan eks asing pun menggunakan awak kapal (ABK) asing.

Selain itu, data menunjukkan dari 1.132 kapal ikan eks asing, sebanyak 616 di antaranya menggunakan alat tangkap jaring trawl yang tidak ramah lingkungan dan sudah dilarang di Indonesia.

Bustar juga menyoroti tentang potensi konflik nelayan Indonesia dengan kapal ikan eks asing. Misalnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.

Di wilayah dangkal itu banyak kapal nelayan tradisional yang beroperasi. Jika wilayah tersebut kemudian dimasuki oleh kapal besar, maka akan terjadi persaingan dan potensi konflik yang bisa berujung kepada pelanggaran hak asasi manusia.

“Kami ingin melihat nelayan kecil diberikan ruang dan didukung penuh oleh pemerintah untuk bisa berkembang terlebih dahulu,” kata Bustar.

KORAL merupakan koalisi yang terdiri dari sembilan lembaga masyarakat sipil yang peduli terhadap kelautan dan perikanan Indonesia. Yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Ecosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa), Pandu Laut Nusantara.

Serta Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Greenpeace, Destructive Fishing Watch (DFW), Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).

Dalam audiensi tersebut, KORAL juga merekomendasikan KPP untuk membenahi tata Kelola perikanan yang terukur. Director of International Engangement and Policy Reform IOJI, Stephanie Juwana, mengatakan perikanan yang terukur ini bisa terlaksana dengan kepatuhan dari para pelaku usaha.