Oleh : Lusi Peilouw (Direktur Yayasan INAATA Mutiara Maluku/Pegiat Perlindungan Perempuan dan Anak Maluku)

Tanggal 16 Januari 2022, Ameks.id  memberitakan peristiwa pemukulan 2 pramuria di Waisarisa yang dilakukan oleh Kepala Inspektorat Kabupaten Seram Bagian Barat. Alasan pemukulan adalah kecemburuan melihat pramuria langganannya telah lebih dulu dibooking oleh orang lain. Hari Minggu dini hari, dalam keadaan mabuk, sang pejabat memukul 2 pramuria sekaligus.

Seperti diberitakan sang inspektur ternyata memiliki 2 orang pramuria langganan. Rasanya tidak berlebih  jika saya berasumsi bahwa sang inspektur adalah pelanggan tetap dari tempat hiburan malam itu. 

Saya mencoba menelaah secara sederhana saja situasi sang inspektur yang terbilang sukses meniti karier di bidang pengelolaan dan pengawasan keuangan Kabupaten SBB itu.

Memiliki langgangan dan menjadi pelanggan, menunjuk kepada satu perbuatan atau kegiatan yang sering dilakukan. Perasaan cemburu biasanya muncul dilatari perasaan memiliki.

Bisa jadi itu merupakan cemburu buta? Saking butanya, memukul dan menganiaya 2 perempuan dan kemudian balik dihajar oleh preman. Pantaskan seorang pejabat publik melakukan dan diperlakukan sedemikian rupa?

Bulan Januari ini, setahun yang lalu, media mainstream maupun media online di Ambon juga ramai memberitakan kasus penggebrekan seorang Kepala Dinas di Kabupaten Kepulauan Aru oleh istri sahnya.

Pada saat digebrek, sang Kadis sedang bersama dengan perempuan lain di kamar salah satu hotel di Kota Ambon.

Yah, dia berkelit, itu adalah istri sahnya. Padahal, dia secara hukum masih terikat pernikahan dengan perempuan yang menggebrek lengkap dengan aparat keamanan itu. Proses hukum pun dilaluinya.

Bulan Desember 2022 si kepala dinas itu oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ambon dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya dan divonis 4 bulan penjara.

Walaupun dalam status demikian di hadapan hukum, dan masih ada 2 kasus hukum yang masih dan akan disidangkan, dia (si Kadis) baru saja mendapat promosi jabatan Eselon 2 pada Dinas yang lain. Pertanyaannya, Bupati kok memelihara pejabat pelaku kekerasan terhadap perempuan? Kok pelihara predator?

Pelanggaran Etika ASN

UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara memberikan rambu-rambu etika bagi setiap ASN. Kita bisa lihat pada Pasal 3 tentang prinsip, mengatur bahwa ASN sebagai profesi berlandaskan pada 7 prinsip; 3 prinsip diantaranya adalah a. nilai dasar; b. kode etik dan kode perilaku; c. komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik;

Selain Pasal 4 tentang Nilai Dasar ASN, mengatur 15 Nilai Dasar, diantaranya: a. memegang teguh ideologi Pancasila; b. setia dan mempertahankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pemerintahan yang sah; g. memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur; dan h. mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik;

Selanjutnya, Pasal 5 mengatur bahwa kode etik ASN penting dalam menjaga martabat dan kehormatan ASN; sedangkan Kode etik dan kode perilaku mengatur perilaku agar Pegawai ASN memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN; dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin Pegawai ASN.

Bukan tanpa dasar, jika saya mempersoalkan etika dari para Pejabat Publik yang adalah ASN dan oleh polisi ditetapkan sebagai tersangka pelaku criminal, oleh hakim pengadilan tingkat pertama ditetapkan sebagai terpidana.

Landasan regulasinya jelas ada. Sebagai pejabat dengan jabatan eselon II, yang berarti memiliki jajaran staf yang cukup banyak, wajib mereka menjaga kewibawaan dan martabat mereka sebagai ASN pelayanan publik, dan menjadi teladan bagi stafnya. Belum lagi jika kita soalkan pertanggungjawaban kepada publik.

Komitmen Internasional

Saya ingin mengingatkan bahwa Indonesia telah terikat sebagai Negara Peserta dari 2 (dua) konvensi yang dibuat oleh PBB untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Kedua konvensi itu adalah CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women) yaitu Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Tindakan Diskriminasi terhadap Perempuan dan UNCAT (United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan.

CEDAW diratifikasi pada 24 Juli 1984 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Sedangkan UNCAT diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Kedua konvensi ini adalah perangkat regulasi HAM internasional dan sebagai Negara yang ikut menandatangani dan sudah meratifikasi, Indonesia wajib patuh pada ketentuan-ketentuannya. Tidak boleh ada kompromi atas pelanggaran.

Kepala daerah yang merupakan representasi dan manifestasi kehadiran negara di daerah, semestinya tegas menegakkan aturan hukum maupun Hak Asasi Manusia, apalagi jika pelakunya adalah pejabat pada jajarannya. Mestinya tidak ada toleransi dengan pejabat-pejabat Negara yang demikian.

Harapan Penegakan Hukum

Terhadap peristiwa di Kabupaten SBB, kami berharap aparat keamanan mengusut kasus itu hingga tuntas dan menindak tegas pelaku, walaupun dia seorang pejabat. Bahkan, justru karena statusnya sebagai pejabat dengan jabatan eselon yang tinggi, mestinya hukum dan HAM lebih ditegakkan.

Apabila terbukti secara hukum melakukan tindak pidana penganiyaan dan/atau lainnya, pejabat yang bersangkutan harus pula diberikan sanksi administrative sebagai ASN. Dalam hal ini, Kepala Daerah diharapkan nanti mengambil sikap tegas sesuai aturan kepegawaian yang ada.

Hal ini akan memunculkan efek jera bagi pelaku. Selain itu, juga menjadi tindakan preventif. Orang lain tidak akan berani untuk melakukan tindakan demikian, karena takut terjerat persoalan yang sama dengan sang inspektur.

Penegakan hukum yang sama juga saya harapkan dapat diambil oleh Bupati Kepulauan Aru. Pejabat jajarannya yang menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan mestinya dikenakan sanksi disiplin kepegawaian, paling tidak dilepaskan dari jabatan. Pada jabatan melekat tanggungjawab untuk melakukan pembinaan pada staf. Bagaimana mau membina stafnya, moralnya hancur ?

Kami memiliki catatan buruk tentang Bupati ataupun Sekda Kepulauan Aru. Berupa pemberian ijin bagi pejabat eselon II untuk menggugat cerai istrinya, tanpa terlebih dahulu menjalankan proses dan tahapan pembinaan, mediasi dan seterusnya sebagaimana diatur oleh Regulasi kepegawaian. Surat ijin mana kemudian menjadi titik awal kehancuran aspek psikologis perempuan (istri) dan anak-anak.

Sidang kode etik sempat digelar, namun hanya sampai pada agenda mendengarkan keterangan dari terlapor. Selanjutnya tidak jelas seperti apa proses itu berlanjut dan bagaimana hasilnya.

Berkali-kali dikontak utnuk mendapatkan penjelasan, tidak pernah direspon. Berbagai pihak seperti KOMNAS HAM, KOMNAS Perempuan, P2TP2A Provinsi Maluku turut menyikapi dan menyurati Bupati mempertanyakan hal itu, namun tidak digubris.

Publik Harus Cerdas

Kepala Daerah adalah produk perhelatan politik, dipilih oleh masyarakat di daerahnya. Fakta adanya Kepala Daerah yang minim keberpihakan bagi perlindungan perempuan dan anak mesti membuka mata publik untuk lebih jeli dan cerdas.

Masyarakat harus lebih cerdas, untuk tidak memilih Kepala Daerah yang tidak punya keberpihakan kepada perempuan korban kekerasan dan justru memelihara predator yakni pejabat pelaku kekerasan terhadap perempuan.

Keberpihakan ini pun mesti dikemas menjadi materi bargaining politik perempuan, baik dengan partai, maupun dengan calon yang diusung, pada semua perhelatan politik.

Dengan sendirinya akan terbangun mekanisme sanksi sosial yang menutup akses bagi keberadaan pejabat dengan perilaku tidak semena-mena terhadap perempuan sebagai salah satu bentuk tindakan tidak bermoral dan tidak beretika (*)