Menyongsong Desa Mandiri
Oleh : Dyah Tari Nur'aini, SST ( Statistisi Pertama BPS Kolaka, Sulawesi Tenggara)
Wilayah perkotaan semacam Jakarta, Semarang dan Surabaya masih sibuk bergulat dengan Covid-19. Ya, hal ini disebabkan perkotaan identik dengan padat penduduk dan pergerakan penduduknya yang sangat cepat.
Ambil contoh saja Jakarta, dengan biaya hidup yang tinggi, tidak mungkin masyarakat dengan status sosial menengah kebawah yang tinggal disana hanya duduk manis saja di rumah. Tentu mereka akan tetap mencoba bertahan hidup, walaupun badai pengangguran menghadang.
Perekonomian perkotaan yang didominasi oleh sektor perdagangan, industri pengolahan, dan jasa tampak mati suri akibat wabah Covid-19 yang tak kunjung usai.
Sebagian perantau pun memilih untuk pulang kampung ke desa dan mencoba bertahan hidup dengan modal terbatas di daerah asalnya. Ya, sepertinya perdesaan merupakan wilayah yang cukup aman sementara waktu ini dari ancaman Virus Corona. Namun kewaspadaan harus tetap ditingkatkan demi memutus mata rantai penyebaran virus tersebut.
Protokol kesehatan harus tetap diperketat dengan cara mengisolasi warga yang baru saja mudik ke desa.
Mewabahnya Covid-19 di perkotaan, seharusnya ditanggapi dengan positif khususnya bagi masyarakat desa. Salah satu alasannya adalah sektor pertanian yang cenderung stabil terhadap ancaman Covid-19. Kedua adalah, rencana penguatan ketahanan pangan di kala pandemi oleh pemerintah pusat juga semakin menjadi. Hal tersebut tentu akan mendongkrak permintaan produk pertanian.
Desa, ya ada banyak kalimat yang bisa mendefinisikan desa. Ada yang beranggapan bahwa desa adalah tempat pulang kembali setelah merantau, ada juga yang menganggap bahwa desa merupakan tempat yang jauh dari peradaban dan teknologi.
Yang jelas, desa merupakan sebuah unit pemerintahan paling kecil dimana Kepala Desa menjadi pemimpin di dalamnya.
Dalam perkembangannya, ada desa yang mampu mengembangkan keunikan wilayah maupun keterampilan sumber daya manusianya sehingga anggapan bahwa desa itu jauh dari peradaban agak memudar. Contohnya Desa Pujon Kidul yang berhasil memanfaatkan potensi alamnya sehingga berhasil menjadi salah satu desa wisata di Indonesia.
Desa yang terletak di Malang, Jawa Timur ini menjadikan agrobisnis sebagai ciri khasnya. Diantaranya pengolahan susu sapi, budidaya tanaman obat keluarga hingga perkebunan buah-buahan khas Malang, semacam apel.
Menambah lagi, ada Desa Kasongan yang terletak di Bantul, Yogyakarta dimana masyarakatnya mampu mengembangkan diri sebagai pembuat gerabah unggulan. Hingga akhirnya gerabahnya pun disebut gerabah kasongan. Gerabah kasongan sudah berhasil mencapai pasar ekspor utamanya ke Amerika dan Eropa.
Koordinator UPT Kasongan pun menegaskan bahwa tiap bulan rata-rata 80 kontainer kerajinan berhasil diekspor, dengan nilai tiap kontainernya diperkirakan Rp 50 juta hingga Rp 75 juta.
Desa Kasongan memiliki sekitar 852 perajin yang tersebar di lima dusun, 200 perajin diantaranya adalah perajin kualitas ekspor. Disisi lain, masih banyak desa di wilayah Indonesia yang belum menemukan potensi terbaiknya untuk menjadi desa mandiri.
Ditambah lagi, makin banyak wilayah desa pemekaran yang masih bergantung dengan desa induknya, kalaupun tidak bergantung, desa tersebut mekar dikarenakan terjadi konflik dengan desa induknya.
Efeknya, ada desa yang memiliki batas imajiner dikarenakan antar desa saling mengakui batas wilayahnya.
Berkaca dari keberhasilan sebuah desa dan masih adanya konflik yang tidak penting di desa lainnya. Kiranya ada segi-segi yang perlu kita benahi bersama demi meningkatkan keberhasilan tiap desa agar setara baiknya. Diantaranya perlunya melakukan evaluasi kinerja pemerintahan desa tiap tahun anggaran.
Jika kita melihat realisasi sumber pendapatan pemerintah desa yang ada di seluruh Indonesia, sebagian besar masih berasal dari Pendapatan Transfer, yakni sebesar 96,70% pada tahun anggaran 2020 sedangkan Pendapatan Asli Desa hanya mencapai 2,58% dan sisanya bersumber dari pendapatan lain-lain.
Persentase pendapatan tersebut rupanya mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2019, dimana Pendapatan Transfer yang menyentuh angka 96,52% dan Pendapatan Asli Desa yang hanya mencapai 2,50% saja.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar desa di Indonesia masih mengandalkan pendapatan yang berasal dari Pendapatan Transfer dimana notabenenya sebagian besar dari Dana Desa yang dianggarkan oleh Pemerintah Pusat.
Artinya sebagian besar desa yang ada di Indonesia masih belum bisa disebut Desa Mandiri mengingat kontribusi dari Pendapatan Asli Desa masih minim sekali.
Dari segi realisasi belanja pemerintah desa tahun anggaran 2020, anggaran yang dihabiskan untuk pembinaan masyarakat sebesar 6,53%, pemberdayaan masyarakat 5,64% pelaksanaan pembangunan desa 44,02%, penyelenggaraan pemerintah desa 33,08%, dan sisanya masuk belanja tak terduga.
Kita bisa melihat bahwa bidang pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa seharusnya lebih diperhatikan lagi dengan cara menambah alokasi anggaran di bidang tersebut.
Pembangunan desa juga penting, namun harus diseimbangkan dengan meningkatkan kualitas dan kapabilitas masyarakat desa dalam mengelola sumber daya alam dan budaya desa, sehingga akan terwujud Desa Mandiri yang sesungguhnya, yakni Desa yang tidak menggantungkan diri dari Dana Desa (*)