Oleh : Mashuri Mashar, S.KM (Konsultan Kesehatan)

SEMALAM saya komunikasi dengan seorang karib di Masohi. Sekitar pukul delapan. Niatan awal untuk sekedar melepas kerinduan. Sudah empat bulan saya meninggalkan tanah berjuluk Pamahununusa. Sejak itu pula informasi disana saya dapat hanya dari media sosial.

Kami bicara banyak hal. Mulai dengan saling bertanya kabar, hingga mengurai banyak informasi. Tidak ketinggalan sesekali berdiskusi suatu tema tertentu.

Diantara semua hal tersebut, satu hal yang sedikit lama kami diskusikan. Terkait COVID-19 di Maluku Tengah.

Bermula dari sebuah pertanyaan restoris; bagaimana Korona di Maluku Tengah? Dengan sedikit bersemangat, si kawan menjelaskan bahwa ada beberapa perkembangan terakhir. Antara lain identifikasi positif Korona tenaga medis (disingkat; gadis) di salah satu rumah sakit dan kebijakan menggratiskan Rapid Domestik Test (RDT) di Maluku Tengah oleh Bupati.

Tentu saja dua hal diatas jadi menarik. Pasalnya, memiliki benang merah: Rapid Domestik Test. Informasi positif Korona para “gadis” didapat setelah melakukan RDT. Dan, diantara dua pilihan test Korona, pemerintah kabupaten Maluku Tengah memilih RDT yang gratis.

Mari Kita Bahas

Yang perlu diketahui bersama, secara umum, Indonesia mengenal dua macam test untuk “lihat” keberadaan makhluk maharenik bernama COVID-19. RDT dan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Keduanya dikenal dengan sebutan Rapid Tes dan Swab Tes.

Apa beda Rapid Tes dan Swab Tes. Beda pertama adalah sampel yang dipakai untuk tes. Rapid Tes memakai darah dan Swab Tes; cairan lendir tubuh. Cara pengambilannya juga berbeda Sampel Rapid Tes diambil lewat ujung jari atau saluran Vena dan Swab Tes lewat lubang hidung hingga saluran pernapasan atas. Karena itu, pengambilan sampel Swab tes sedikit lebih rumit dibanding Rapid Tes.

Apa kelebihan dan kekurangan dari keduanya? Kelebihan Rapid Tes terletak pada alat pendukung bisa dibawa kemana-mana. Selain itu juga lebih murah dan relatif mudah digunakan. Kekurangannya terletak pada tingkat akurasi.

Seperti dilansir ABS News sampel darah yang diambil saat Rapid Tes hanya mengukur kadar antibodi pasien saja. Parahnya, tidak untuk mendeteksi keberadaan virus Korona. Karena itulah, meski negatif, paska menjalani Rapid Tes tetap harus menjalani karantina 7-14 hari. Sederhananya, Rapid Tes hanya menghasilkan kondisi “negatif palsu”.

Jika Rapid Tes kekurangannya pada tingkat akurasi, maka Swab Tes adalah kebalikannya. Swab Tes mampu mengetahui keberadaan Korona dalam tubuh, seperti yang dilansir The Guardian dua bulan silam. Kekurangan Swab Tes terletak pada biaya tinggi yang dibutuhkan. Selain itu alatnya lebih rumit dan kompleks. Makanya, Swab Tes agak sulit untuk digratiskan.

Dari fakta diatas kita bisa ambil dua pelajaran penting. Terutama jika dihubungkan dengan dua topik pembicaraan kami semalam. Jika betul, para “gadis” tadi dinyatakan sebagian positif, bagaimana teman sejawat mereka yang negatif? Padahal menggunakan metode Rapid Tes. Apakah tidak mungkin yang sebagian lagi hanya berstatus “negatif palsu”. Bisa dibayangkan bagaimana ancaman lonjakan jumlah penderita kedepannya di sana. Terutama jika yang berstatus negatif palsu tadi masih bertugas di fasilitas kesehatan.

Pelajaran kedua adalah menggratiskan Rapid Tes. Soalnya bukan pada pembebasan pembayaran, tapi di pilihan jenis tes yang digunakan. Bukankah lebih baik memilih jenis tes yang satu lagi, meski diberlakukan sistem subsidi silang? Bagi saya ini lebih penting jadi titik tekan dibanding menggratiskan tapi hasilnya kurang atau cenderung tidak valid jika dihubungkan dengan COVID-19.

Akhirnya saya berkesimpulan, keputusan menggratiskan adalah tindakan sia-sia belaka. Mengingat pintu gerbang transportasi ke dan dari Maluku Tengah bisa lewat berbagai arah. Ini tentu menambah tingkat ancaman lonjakan kasus Korona disana. Semoga ini hanya kekhawatiran saya saja, laiknya mimpi buruk pulau Ibu (***)