BERITABETA.COM – Efek negatif kecanduan gadget terhadap anak-anak menjadi perhatian banyak kalangan. Tak sedikit orang tua dan guru yang mulai membatasi penggunaan gawai untuk mereka yang belum cukup umur.

Dokumen klasifikasi penyakit internasional ke-11 yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia atau WHO telah menggolongkan kecanduan bermain game di ponsel pintar atau komputer sebagai penyakit mental.

Istiliah yang dipakai adalah gaming disorder, perilaku bermain terus menerus dengan mengesampingkan kepentingan hidup lainnya. Risiko kecanduan main game di ponsel ada banyak: penurunan konsentrasi belajar, daya ingat, tingkat kecemasan tinggi, kesulitan mengontrol emosi, depresi, hingga kurang mampu berkomunikasi.

Di Ambon khususnya dan  Maluku umumnya,  kecanduan terhadap gadget, meski tidak harus berujung gaming disorder, namun sudah terlihat. Kondisi inilah yang membuat seorang Nicho Tulalessy tergerak hatinya untuk berbuat sesuatu.

Lulusan salah  satu sekolah menengah kejuruan di Kota Ambon, ini mulai terinspirasi saat berlibur di Pulau Banda Kabupaten Maluku Tengah, dua tahun lalu. Disana Nicho kepincut hati saat melihat warga di Pulau Ai bermain alat musik gesek ukulele.

“Bermain ukulele merupakan salah satu kegemaran saya waktu kecil,” ungkapnya mengisahkan cerita di Banda.

Seakan mendaptkan ilham. Nicho yang mengaku suka ukulele ini, kemudian merencanakan untuk melakukan sesuatu. “Saya lalu berpikir kenapa tidak buat hal ini di Ambon,” katanya.

Sampai di Ambon dirinya lalu membentuk Grup Ukulele Hapiong, yang fokus memainkan alat musik ukulele. Grup itu terdiri dari beberapa orang dewasa dan kerap diundang  bermain di acara tertentu termasuk di acara keagamaan. Namun, eksistensinya tidak kelihatan.

 

Koordinator Mollucan Ukulele Leaders, Nico Tulalessy saat melatih puluhan anak yang tergabung dalam Amboina Ukulele Kids Community' (Foto : Istimewa)

 

Kepada Mery Taribuka yang menemuinya di kawasan Tirta Hotel, Senin 9 September 2019, Nicho  yang pegiat kemanusiaan itu mengaku, inspirasinya membawa ukulele sebagai alat musik pemersatu baru kembali bergeming ketika dirinya berada di Australia.

Di sana, Nicho menemukan banyak komunitas ukulele yang dibentuk. Dan terpikir olehnya, untuk kembali ke  Ambon dan melakukan hal yang sama dan menjadi ikon wisata kedepan.

Chemistry-nya bersama ukulele  baru ditemukan, ketika ide untuk alat music ini dimainkan anak-anak di tepi pantai, ada tiupan angin semilir dalam alunan lagu Ambon.

Sekembalinya di Ambon, Nicho lalu bergegas membentuk ‘Amboina Ukulele Kids Community’.  Sebuah komunitas yang menghimpun anak-anak yang mau bermain alat musik ukulele. ‘Amboina Ukulele Kids Community’ sukses dibentuk  dengan menghimpun anak-anak Ambon dari dua  komunitas,  Kristen dan juga Muslim.

Alat musik yang berbunyi unik dan berukuran mini ini, memiliki kelebihan tersendiri, sehingga dapat dimainkan oleh orang di berbagai usia. Niko kemudian dibantu oleh Rio Efruan, seniman Maluku, yang peduli dengan anak-anak. Lengkaplah sudah apa yang diimpikan itu.

Satu yang penting, pikir suami dari Maria de Fretes saat itu, ukulele pasti mampu mengalihkan perhatian anak-anak milenial yang kecanduan gadget. Itu mimpinya, karena harus ada sesuatu untuk alihkan perhatian anak-anak.

Ukulele adalah solusinya. Bila candu gadget terus dibiarkan, bukan hal aneh bila 20 tahun ke depan, banyak  generasi generasi yang akan terpapar teknologi  yang tidak sehat baik fisik maupun psikisnya.

“Bagamaina masa depan kota ini, provinsi ini bahkan negara ini bila hal tersebut dibiarkan,” ungkapnya.

Semangat itu makin menggebu saat pihaknya ikut dalm Program Australian Awards, terkait cinta bumi  dengan kurangi penggunaan sampah plastik. Di sana, salah satu guru besar menyarankan agar hobby main ukulele dikembangkan.

Menurutnya, aksi tentang Kampanye Sampah Plastik, banyak orang sudah lakukan, termasuk pemerintah. Kita harus lakukan hal lain.

“Professor itu bilang, kenapa kamu tidak kembangkan ukulele, hoby kamu itu?. Lalu saya dibawa ke komunitas-komunitas ukulele. Pikiran saya kembali ke Banda saat melihat orang main ukulele di Pulau Ai,” kenangnya.

“Tekad saya, pasti saya bisa kembangkan ini lebih di Ambon. Cara main ukulele di Ambon beda, karena berkarakter sehingga tak monoton,”cerita Nicho.

Nicho bercerita panjang. Sampai di Ambon, mulai kumpul beberapa anak tetangga termasuk anaknya. Saat itu, jumlahnya delapan anak. Dia berdiskusi dengan beberapa teman. Ada dari kalangan akademisi, ada juga dari jurnalis minta pertimbanga.

Semua mendukung. Akhirnya anak-anak itu mulai dilatih. Ternyata, lihat teman-temannya bermain ukulele, yang lain juga  ingin bergabung. Ukulele mulai digemari. Bukan hanya anak-anak yang ada di Amahusu, tempat Nicho tinggal, namun juga dari negeri-negeri lainnya yang ada di Kota Ambon. Anak-anak komunitas Muslim juga bergabung.

Saat ini, komunitas ukulele yang dibinanya telah mencapai ratusan anak. Mereka butuh tempat latihan baru. Dipilihnya Paparisa, yang berdekatan dengan Tirta Hotel, pas di depan jalan raya Negeri Amahusu, Kecamatan Nusaniwe.

“Kami berlatih dan bermain ukulele. Mengunggah video via sosial media. Mereka bagikan lagi unggahan itu. Ternyata banyak yang suka. Akhirnya banyak yang minat,” urainya.

Bag gayun bersambut, komitmen Nicho terus menjadi perhatian.  Berbagai kegiatan pemerintah yang digelar, turut  serta melibatkan Amboina Ukulele Kids Community.

Mereka diundang mengisi acara antara lain Pesta Teluk Ambon serta Pencanangan HUT Kota Ambon ke-444 lalu. Termasuk saat Dubes Irlandia datang ke Ambon, komunitas ini diminta bermain Ukulele.

Yang paling  booming adalah saat event Ambon Darwin Yatch Race. Disana  Amboina Ukulele Kids Community diundang bermain di atas kapal layar, lalu diunggah oleh ribuan orang.

Melihat di medsos, media nasional mulai datang, mewawancarai bahkan media dari Australia pun mengekspos kegiatan ini dan akhirnya makin populer.

Bahkan ada beberapa mahasiswa asing yang sedang ikuti program belajar di salah satu universitas di Ambon belajar ukulele. Biar makin berkembang, saat ini Ukulele telah merambah masuk ke sekolah.

Ukulele Merambah ke Sekolah

Ukulele terus menjadi idola. Dan akhirnya bisa masuk ke lingkungan sekolah. Dimulai di tiga sekolah dasar (SD) yang ada di Negeri Amahusu yaitu SDN 1 dan SDN 2 Amahusu, SD Inpres 42 Amahusu dan SMPN 11 Ambon.

Ketrampilan main ukulele ini diajarkan ke guru dan para murid. Nicho yakin walau hanya berdua dengan Rio Efduan, namun sistem belajar dimana para siswa yang telah pintar main ukulele nanti bantu ajarkan kepada teman-temannya maka semua jadi mudah.

“Agar tidak mati, maka kita harus eksekusi di sekolah. Kita sekarang sudah mulai dari empat sekolah di Amahusu. Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon suda datang launching,” ceritanya.

Sementara guru dan bapak guru belum tau. Anak murid mungkin yang ajar mereka main karena anak-anak sudah main duluan.  Selain itu, juga diusahakan ukulele merambah di kabupaten/kota yang ada di provinsi ini. Telah dimulai dari Kota Tual dan Maluku Tenggara.

“Biar ukulele bisa dinikmati bukan hanya di Ambon namun Maluku,” harapnya.

Bahkan, anak-anak Amboina Ukulele Kids Community bentukan Nicho ini membuat hal yang lebih berarti. Bukan hanya tentang seni namun juga terkait toleransi di daerah kepulauan yang pernah di landa konflik kemanusiaan ini.

Bahkan saat gempa berkekuatan 6,8 magnitudo melanda Pulau Ambon dan sekitarnya, komunitas ini juga membantu dengan caranya.  Selain bantuan berupa bahan makanan, mereka juga bernyanyi bersama anak-anak pengungsi maupun yang mengungsi di tenda pengungsian di Desa Suli, Liang dan Waai Kabupaten Maluku Tengah.

Mereka bermain ukulele dan bernyanyi bersama serta merayakan ulang tahun bersama di tenda pengungsian. Tujuannya hilangkan trauma gempa (trauma healing).

“Dengar Ukulele musik anak-anak bisa melupakan kesedihan mereka. Tujuannya adalah menghilangkan trauma gempa,” katanya.

Sebelum itu, dalam mengajarkan anak-anak tentang toleransi, Amboina Ukulele Kids Community dibantu lembaga kemanusian lainnya membuat kegiatan keagamaan bersama. Antara lain, digelar Batal Bersama di Tribun Lapangan Merdeka.

“Ramadhan kita semua punya karena kita turut merasakan, tidak bisa makan di hadapan teman-teman yang sedang menjalankan ibadah puasanya,”

Makin berkembang Ukulele, maka kebutuhan sekarang adalah ukulele. Ia juga  telah meminta bantuan dari mereka yang peduli dengan apa yang dilakukan. Para donatur ukulele itu ada yang dari Belanda, Australia, Selandai Baru, dan Costarica. Masalahnya, anak-anak binaanya kebanyakan berasal dari keluarga “biasa” sehingga tak mungkin membebani lagi dengan harusbeli ukulele.

“Ukulele yang ada sekarang ini kategori ukulele yang super biasa. Apalagi kebanyakan anak-anak ini dari kelurga biasa. Kalau mau bantu, jangan kasih uang tapi langsung bayar ukulele di toko biar kita ambil ukulele,” terangnya.

Mimpi Pecahkan Rekor Dunia

Capaian ini, Nicho terus bermimpi. Yaitu Ukulele bisa pecahkan rekor dunia bahkan bisa buat rekor baru. Dikontaknya Guinness Book of World Record. Dalam pikirannya bisa pecahkan rekor dunia dimana anak-anak sekitar 1000-an main musik.

Jawaban yang didapat dari  Guinness Book of World Record, Hongkong tahun lalu telah memecahkan rekor dunia dengan jumlah pemaian lebih dari 8000-an anak.

Ini berati bila ingin pecahkan rekor maka harus disiapkan anak-anak sekitar 15 ribu. Menurutnya menyiapkan anak dalam jumlah itu mungkin bisa dilakukan namun yang agak sulit adalah menyiapkan Ukulele.

“Lima tahun dari sekarang mungkin kita bisa capai. Pemerintah perlu men-suport karena kita punya talend yang sebenarnya bisa menonjol sampai ke dunia,” yakinnya.

Bahkan yang lebih memungkinkan adalah membuat rekor dunia baru yaitu berlayar dengan kapal sambil main ukulele dari Darwin, Australia sampai  ke Ambon, Indonesia.

“Jadi kita mungkin sekitar tiga orang main ukulele secara marathon dari Darwin. Bahkan pihak Guinness Book telah memberi judul Marathon Playing Ukulele Group. Rekor ini kita berlayar dari negara lain ke negara lain,” jelasnya.

Inilah yang telah digagas Nicho bersama teman-temannya. Nicho tidak hanya menumbuhkan kecintaan seninya kepada mereka, namun ia telah membutktikan bahwa dari Ukulele masyarakat Maluku bisa belajar toleransi, kecanduan gadget dan banyak hal tentang perdamaian. (mery taribuka)