BERITABETA.COM, Denpasar – Menu makan khas Maluku, Papeda kua ikan, bukan lagi menjadi barang langka. Bagi orang timur, misalnya Maluku menu Papeda yang dihasilkan dari pati sagu ini tak akan lengkap tanpa pasangannya kua ikan.

Banyak orang Maluku yang berada di rantau, pasti selalu ingin menyantap makanan khas ini. Teksturnya yang lebut dan kenyal, bila disiram kua ikan, akan selalu menggoda.

Tapi tidak semua orang Maluku bisa mendapatkan menu makan ini di tanah rantau. Pilihanya harus pulang ke Maluku.

Alasan inilah yang membuat  Gleen Mailuhu, salah seorang warga Ambon yang menetap di Denpasar,  Bali membuka usaha kuliner khas Maluku yang diberinama  Egen’s Warung. Egen’s Warung, beralamat di Jalan Pulau Ayu Gang V, Dauh Puri Klod, Denpasar Barat.

Menurut Gleen Mailuhu, warung makan ini sudah dibuka sejak 5 tahun lalu. Alasan di balik dibukanya warung papeda ini, untuk mengobati rasa kangen masyarakat Indonesia Timur, seperti Ambon, Maluku, yang telah lama merantau ke Bali.

“Tahun 1999 terjadi keributan di Ambon, sehingga banyak orang Ambon dari berbagai macam agama mengungsi atau pindah ke Bali. Karena sudah banyak orang Ambon di sini, saya mulai berpikir bahwa bagusnya kita buka makanan daerah di Bali,” katanya dikutip dari baliexpress.jawapos.com, Jumat (26/11/2021).

Gleen mengungkapkan, tak sedikit orang Maluku yang kerja di Bali, datang makan ke tempatnya. Yang paling sering dipesan adalah menu utama yakni papeda ikan kuah kuning. Selain papeda, warungnya juga menyediakan sayur kangkung bunga pepaya, ikan bakar colo-colo, ikan goreng colo-colo, sayur kohu-kohu serta sayur acar kuning.

“Biasanya kita bikin kalau ada pemesanan untuk ulangtahun atau acara-acara kantor Orang Timur atau orang yang pernah bertugas di Ambon, kembali ke Bali dan ingin makan makanan itu, kami sediakan,” jelasnya.

Mulanya, hanya masyarakat Timur yang datang ke tempatnya memesan papeda. Tapi setelah tersebar di media sosial, warungnya mulai didatangi beragam pengunjung. Tidak hanya warga Ambon, melainkan ada warga Sulawesi bahkan hingga warga Bali. Gleen menyebutkan, sekitar 5 persen konsumennya merupakan warga Bali asli.

“Orang Bali banyak, karena ada yang transmigran ke Pulau Seran, Maluku Tengah, jadi ada yang balik ke Bali anak-cucunya untuk sekolah, mereka cari papeda, karena mereka lahirnya di sana,” katanya.

Cara makannya, sebelum menyeruput atau memakan papedanya, mula-mula kuah dari ikan kuah kuning dituangkan sedikit ke dalam piring kosong. Untuk kuahnya merupakan campuran dari banyak bahan, seperti cabai kecil-besar, tomat, lengkuas, kemangi dan daun salam.

Setelah dituangkan, barulah papeda ditambahkan ke dalam piring dengan cara menggunakan sepasang alat menyerupai sumpit, yang kemudian papeda diambil dengan cara seperti digulung-gulung. Setelah keduanya masuk ke dalam piring, barulah papeda diaduk sedikit bersamaan dengan kuah dan bisa dikonsumsi menggunakan sendok atau langsung diseruput.

“Nah ini pasti nempel di sekitar mulut, apalagi yang berkumis. Tapi di sanalah kenikmatannya,” kata pria asli Ambon ini.

Karena merupakan kuliner khas daerah, Gleen mendatangkan bahan bakunya langsung dari Ambon. Tetapi karena biaya ongkos kirim yang semakin tinggi, belakangan bahan baku papeda, yakni sagu, ia ganti dengan tepung sagu yang didatangkan tidak hanya dari Ambon, tetapi juga wilayah Jawa.

“Kalau ikan, bunga pepaya itu kadang kita dapat dari Ambon, Kupang, Flores, atau dari Jawa, karena di sini sedikit sulit,” katanya.

Untuk harganya, papeda ikan kuah kuning sepaket dibanderol seharga Rp 38 ribu untuk makan di tempat. Selain itu, kangkung bunga pepaya dan sayur kohu-kohu seharga Rp 18 ribu dan ikan goreng colo-colo Rp 25 ribu. Selain itu ada jajanan khas Maluku mulai dari Rp 3 ribu sampai Rp 10 ribu. Minumannya sendiri berkisar antara Rp 5 ribu sampai Rp 8 ribu. Dibuka setiap hari kecuali Jumat, mulai pukul 09.00-18.00 Wita.

Sebelum Covid-19, sehari ia bisa menjual 10 paket papeda ikan kuah kuning. Ada makanan-makanan lain lagi selain papeda, ikan goreng colo-colo yang sehari bisa laku 10 ekor. Jika dikalkulasi, Gleen bisa meraup pendapatan bersih hingga Rp 800 ribu. “Sesudah pandemi, omzet pasti berkurang, tapi ada,” katanya.

Awalnya ia dibantu tiga karyawan, tapi karena Covid-19 sisa satu karyawan di tempatnya. “Karena kita kan harus bayar gaji karyawan dan sebagainya, sementara pendapatan sejak Covid-19 ini menurun,” ungkap dia.

Di tengah kondisi Covid-19 yang tak menentu ini, Gleen berharap masih ada konsumen yang datang untuk menikmati papeda. Ia pun berharap agar perekonomian Bali kembali pulih agar usahanya, begitu juga yang lain, tetap bisa bergeliat (BB)

 

Sumber : baliexpress.jawapos.com