Pengelolaan Perikanan di Indonesia Timur, Kenapa Lambat ?
Oleh : Amrullah Usemahu (Wasekjen Masyarakat Perikanan Nusantara)
BERBICARA Tentang Indonesia Timur mungkin tak pernah ada habisnya. Banyak potensi sumberdaya alam yang berlimpah ruah berasal dari wilayah timur ini baik di daratan maupun di lautan.
Namun, sayangnya ketimpangan pembangunan masih saja terjadi di wilayah yang terkenal kaya raya tersebut. Walau di lain sisi sudah ada upaya yang dilakukan untuk memasifkan kegiatan pembangunan melalui berbagai program.
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2020, empat provinsi di Timur Indonesia masih berada dalam kategori provinsi dengan kemiskinan tertinggi. Antaranya Papua (26,64 %), Papua Barat (21,37 %) NTT (20,9 %) Maluku (17,44 %).
Sedangkan untuk indeks pembangunan manusia (IPM) Papua dan Papua Barat tercatat sebagai provinsi dengan IPM paling rendah, masing-masing mendapat skor 64,7 dan 60,84, keduanya berada di status sedang.
Padahal, pada sektor Perikanan saja terdapat 4 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang berada pada wilayah timur Indonesia yakni WPP 714,715,717,718 yang potensinya mencapai 5 juta ton.
Sekitar 40 % dari stok perikanan Nasional yang berjumlah 12.5 juta ton. namun timbul pertanyaan mengapa Pengelolaan Perikanan di timur Indonesia berjalan lambat???
Untuk kita ketahui bersama bahwa berkaitan dengan industri Perikanan dilihat dari sisi pengolahan dan pemasaran dimana sarana prasarana unit pengolahan ikan (UPI) di wilayah Indonesia timur masih sangatlah minim.
Data Direktorat Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP,2020) menyebutkan dari total 975 UPI Industri Pengolahan Ikan Skala Menengah Besar terkonsentrasi di Pulau Jawa (444 unit). Sisanya tersebar di wilayah tengah dan barat lainnya. Khusus Indonesia Timur, NTT (26 UPI), Maluku (29 UPI), Maluku Utara (13 UPI), Papua barat (28 UPI) dan Papua (2 UPI) total 98 UPI.
Di lain sisi untuk pelabuhan perikanan di Indonesia berjumlah 538 , dari jumlah tersebut 100 pelabuhan perikanan telah ditetapkan kelasnya yang terdiri dari 7 Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), 18 Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), 38 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), 35 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan 2 Pelabuhan Perikanan Swasta.
Tapi sayangnya dari 7 Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) yang merupakan Pelabuhan Skala Besar tidak ada satupun yang berada pada wilayah Indonesia Timur padahal memiliki 4 WPP Potensial.
Kalau kita lihat potensi perikanan di Timur memegang peran penting bagi industri perikanan Indonesia. Selain itu, perikanan skala kecil mendominasi usaha perikanan di wilayah ini, salah satunya melalui kelembagaan koperasi yang telah memberikan peran penting bagi pemberdayaan perikanan skala kecil.
Untuk itu, wilayah Indonesia Timur memiliki posisi strategis untuk pengembangan perikanan skala kecil, dengan penguatan sosial ekonomi menjadi fokus penting.
Butuh Kolaborasi BUMN dan BUMD Perikanan
Saya Mengutip pernyataan Ketua Forum Komonikasi Kemitraan Perikanan Tangkap (FK2PT) Dr. Agus Suherman,S.Pi.M.Si pada saat webinar yang diselenggarakan FK2PT beberapa waktu lalu.
Ia menyebutan terdapat salah satu kelemahan daya saing dari produk perikanan Indonesia dari wilayah timur, yaitu masalah biaya logistik yang masih tinggi. Upaya-upaya sinergitas BUMN dan Koperasi Perikanan perlu dicarikan solusi.
Bisa jadi, pemerintah dapat menugaskan, misalnya BUMN Cluster Pangan seperti Perum Perindo, PT Perikanan Nusantara, PT BGR Logistik (Bhanda Ghara Reksa) membuka simpul-simpul jalur distribusi produk perikanan melalui tol laut perikanan.
Sementara, penyediaan reefer container (kontainer berpendingin) dan harga logistik yang kompetitif akan memberikan keuntungan bagi nelayan.
Dengan asumsi minimal 3000 refer container setahun dari wilayah timur ke Jakarta dan Surabaya, dengan kapasitas 18 ton/per kontainer dan tingkat efisiensi 1000/kg saja maka akan ada Rp 54 miliar/tahun yang dapat dinikmati oleh koperasi maupun nelayan melalui harga jual yang lebih baik.
Apalagi jika pemerintah menyediakan kapal pengangkut khusus produk perikanan, akan semakin baik harga yang diterima para nelayan.
Ini kiranya bisa menjadi perhatian Pemerintah Pusat maupun daerah sehingga Wilayah Timur akan sendirinya bangkit dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada.
Seperti yang disampaikan Ketua FK2PT, saya juga berharap kedepan Maluku sebagai salah satu wilayah di Indonesia timur yang akan dijadikan kawasan Lumbung Ikan Nasional dapat memiliki BUMD Perikanan, sehingga nantinya sebagai sarana konektifitas antar pulau dalam distribusi logistik perikanan.
Misalnya menjadi wadah membeli, menyuplai dan memasarkan hasil produksi nelayan di pulau- pulau. Ikan kita banyak tetapi sayangnya kita juga terkendala sarana prasarana yang masih terbatas dan rentang kendali antar gugus pulau (1.340 pulau) mengakibatkan nelayan sulit memasarkan hasil tangkapan, olahan atau budidayanya.
Selain itu untuk Maluku, BUMD Perikanan bisa berkolaborasi dengan 869 Bumdes yang telah terbentuk dari total 1.198 desa yang ada. Sementara ini dari 869 bumdes hanya sekitar 519 yang aktif dan 350 tidak aktif sesuai data sipede kemendesa per 5 Agustus 2020.
Dengan 92,4 % adalah wilayah lautan dan 7,6 % daratan serta masyarakat dominan hidup di wilayah pesisir dan berprofesi sebagai nelayan maka Bumdes juga kiranya dapat mengambil peran dengan memanfaatkan potensi yang ada untuk dikembangkan dalam membangun desa.
Di kota Ambon ada BUMN Perikanan yakni PT. Perikanan Nusantara (Perinus) bertempat di Desa Galala tetapi kayaknya terkendala dengan operasional lapangan yang perlu menjadi bahan perhatian.
Jika BUMN, BUMD dan BUMdes ini bisa bersinergi di sektor Perikanan secara tidak langsung perekonomian daerah akan berkembang dan arah menuju LIN akan terwujud dengan sendirinya.
Sistim Logistik Ikan Harus Jadi Fokus Perhatian
Sistim logistik ikan akan kedepan kiranya lebih baik lagi, bisa saja dengan membuka jalur pasar baru yang langsung dari Kota-kota di Indonesia timur ekspor langsung ke luar negeri.
Misalnya ke Negara Asia timur (Jepang), Australia, ataupun Negara-negara pacifik terdekat seperti Papua New Guinea, New Zealand dan lainnya, karena secara karakteristik wilayah berdekatan.
Mungkin selama ini ada argumen yang selalu terdengar bahwa kebutuhan pasar untuk barang dan jasa masih tertumpu di bagian barat karena jumlah penduduk yang tinggi sehingga kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya juga besar.
Selain itu jalur barat lebih dekat dengan pasar Asia dan Eropa dari sisi distribusi logistik akan lebih mudah. jika dibalikan ke timur apakah akan memenuhi kuota misalnya jumlah penumpang ataupun kebutuhan barang yang diminta.
Memang untuk jalur pemasaran selama ini yakni ke pasar Eropa dan sebagian Asia mungkin harus tetap mengikuti jalur yang telah ada (via Jakarta dan Surabaya), karena dari sisi transportasi akan meminimalisir biasa operasional baik transportasi udara dan laut.
Hanya saja sebagian Negara strategis yang bisa menjadi mitra dalam pengembangan usaha dan investasi seperti Jepang, Philipina, Australia, Papua Newguinea, dan negara pasifik terdekat itu, baiknya pusat bisnis perikanannya ada pada kota-kota di Indonesia Timur terdekat.
Ini harus dilakukan guna membuka kawasan industri baru. Ikan kita banyak tetapi ketergantungan pada minimnya Industri Perikanan (UPI) yang menyebabkan kita hanya mampu menjual bahan baku dalam bentuk segar ataupun beku belum pada produk olahan dan itupun melalui jalur distribusi yang cukup panjang
Jalur sistim logistik ini baiknya dilihat kembali, serta harus ada kota di timur Indonesia yang dijadikan pilot project pengembangan berbasis komoditas unggulan daerah jika memang kita inginkan kawasan timur Indonesia bisa bangkit dan maju dengan semua potensi sumberdaya alamnya.
Guna memperpendek jalur logistik kiranya dapat di-back-up dengan dukungan pemerintah untuk mensubsidi pada sektor transportasi antar kawasan sehingga akan meminimalisir jurang kemiskinan daerah. Harapan kedepan perikanan di Indonesia Timur dapat bergerak lebih cepat (***)