Redupnya Generasi Langit
Catatan : Mary Toekan Vermeer (Pengagum Sejarah Islam, Menetap di Belanda)
JAM dinding menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Berlari kecil ku turuni anak tangga, menekan tombol pemanas ruangan. Suhu udara di luar semakin dingin dari biasanya.
Minus sebelas, begitu yang terbaca di layar kecil pengukur suhu udara, tak jauh berbeda dari prakiraan cuaca semalam. Ku dekati jendela kaca, menyibakkan gorden putih yang menggelantung di situ. Wohooo…!Seperti digempur pasukan putih.
Salju merata menutupi seluruh pelataran, membentuk bukit bukit kecil. Permukaan air di kolam mengeras, semoga penghuninya mampu bertahan di bawahnya.
Musim dingin kali ini meninggalkan salju kira – kira setinggi 20 cm. Negeri mungil ini sedang mengalami fenomena alam yang menyapanya dalam rentang waktu lama, kemungkinan setiap 10 tahun sekali.
Dan ini pertama kalinya aku melihat si putri salju mampu bertahan beberapa hari. Hangat matahari tak mampu sirnakan kecantikan sang putri.
Aahh..kenapa tak ku nikmati saja moment ini dari pada mengeluh kedinginan ? Kadang butuh sedikit kegilaan untuk mengisi rasa monoton sepanjang pandemi ini.
Lalu kubuatkan teh hangat. Bersama beberapa potong kecil kue dan buah seadanya, cukup untuk sarapan pagiku di tengah hujan salju di teras belakang.
Pak suami ? Biar saja, dia masih senang meringkuk dalam hangatnya selimut tebal. Aku tak ingin mengganggunya.
Jika hujan salju mereda, kami berencana menapaki hutan, menikmati aroma pepohonan yang membeku.