Catatan : Mary Toekan (Pemerhati Sejarah Islam)

Matahari tak begitu terik. Cahayanya menghangatkan walau bersembunyi di balik awan. Menjelang akhir musim panas, suhu udara berkisar 15 - 22 derajat.

Meski tertimpa matahari, rasa dingin masuk melalui celah - celah lengan bajuku. Hujan sering menyapa dedaunan bumi di sela - sela pagi dan sore.

Aku senang bersepeda ke pusat perbelanjaan kota kecilku sekedar cuci mata. Pemerintah di sini memberlakukan hari Rabu menjadi hari pasar di halaman parkir pusat perbelanjaan.

Persis seperti zaman kami di Tidore. Ada hari - hari pasar berlaku secara bergantian. Di kampung kami Gamtufkange, selalu digelar setiap Selasa dan Jum'at di pasar Garolaha.

Ku parkir sepedaku lalu berjalan sambil beberapa kali memperbaiki jilbab untuk menahan hembusan dingin.

Ada berbagai lapak digelar di sana. Dari sayuran, buah - buahan, baju hingga gorden dan sprei berbagai motif. Di sudut jalan berdekatan dengan perpustakaan kota, dipenuh bunga yang dijual per ikat. Bening mata melihat Kebesaran Allah dari indahnya warna warni kembang dari para petaninya.

Pusat keramaian itu hanya berjarak satu setengah kilo dari rumahku. Di centrum (istilah untuk pusat perbelanjaan di setiap kota di sini) berdiri megah gereja Rooms -  Katolik.

Gereja ini di bangun dalam kurun waktu dua tahun ( 1889 - 1891 ). Arsiteknya tercatat bernama Carl Weber. Bangunan bersusun - susun ini diberi nama Gereja Sint - Brigida.

Gereja dengan menara - menara menyembul ke langit itu, nampak sepi. Jarang terlihat ada kegiatan di sana. Pintu berukuran tinggi besar ini hanya sesekali terbuka.

Aku duduk tak jauh dari sana. Menyeruput teh hangat dan beberapa potong kue di salah satu restorant sambil melihat - lihat ramai orang menenteng barang belanjaan pulang dengan mengayuh sepeda.

Teng...teng...teng !!

Suara itu bergema dari atas menara. Berulang lidah lonceng mengenai dinding logam. Berdentang susul menyusul diakhiri suara lonceng angin, mendayu - dayu berirama tertiup angin. Nada - nada indah itu berdurasi kurang lebih 10 sampai 15 menit.

Ada rasa damai. Alunan itu masuk, mengalir dalam setiap rongga dadaku lalu berhenti di ruang tempat cinta bertahta. Ku hela nafas dalam. Sungguh indah.

Aku mendongak, mencari - cari di mana letak genta berukuran besar, atau setidaknya speaker, untuk mengeluarkan audio lonceng angin tadi.

Mataku tak dapat menangkapnya. Entah di mana speaker itu diletakkan. Yang terdengar hanyalah  suara - suara indah. Diramu bagai magic, menyatu dengan suasana alam.