Kisah ini menjadi lain, sejak kakiku berpijak di ibukota negara. Semua tentang indahnya alunan adzan, sirna seketika terhempas suara - suara sumbang para muadzin dengan volume yang menyentuh batas maksimal.

Masjid seakan kehilangan wibawanya. Toa masjid yang sejatinya untuk kumandang adzan diperebutkan untuk hal - hal lain. Saling tabrak antar masjid di seberangnya. Tak ada yang mau kalah.

Menara masjid terkesan menjadi ajang pamer suara. Masjid dituduh sebagai biang kegaduhan akibat kita yang fakir ilmu. Sesak dada menyaksikan pemandangan ini.

Ummat Islam lupa bahwa ada kewajiban yang Allah titipkan sebagai agama rahmatan lil alamin bagi semua penduduk bumi.

Para turis dari negeri Barat yang datang, selalu menghindar bermalam di hotel - hotel yang jaraknya dekat dengan masjid - masjid.

Ternyata masih banyak pe er, berjilid - jilid menumpuk di negeriku. Negeri yang direbut dengan darah para syuhada. Negeri yang ditaklukkan dengan takbir para ulama.

Tak sedikit masyarakat Muslim belum memahami arti kumandang adzan sehingga siapa saja boleh kumandangkan adzan meski bersuara sumbang.

Padahal Rasulullah selalu memilih muadzin karena keindahan suaranya sebab dalam kumandang adzan sesungguhnya terselip syiar Islam.

Suatu waktu, aku pernah ditanyakan tentang kumandang adzan ini oleh keluarga yang hendak berlibur ke Indonesia.

Tanpa banyak bicara, kunyalakan komputer di depanku mencari - cari adzan terbaik dari salah satu muadzin di Indonesia. Sengaja kugunakan speaker, agar mereka mendengarnya dengan jernih.

Mendadak ruang tamuku sepi. Semua terdiam. Ada yang terbawa memejamkan mata. Meresapi setiap baitnya. Ada yang terkagum - kagum dengan helaan nafas panjang sang muadzin.

" Jika ini yang kamu maksud, aku tak akan pernah merasa terganggu " : jawab salah satu diantara mereka disambut anggukan lainnya.

Sejarah mencatat, kumandang adzan disyariatkan pada tahun pertama hijrahnya Rasulullah. Diriwayatkan oleh Imam al - Bukhari dan Muslim. Dari Abdullah bin Umar, RA :

"Dulu, kaum Muslimin saat datang ke Madinah, mereka berkumpul. Mereka memperkirakan waktu shalat tanpa ada yang menyeru. Hingga suatu hari, mereka berbincang - bincang tentang hal itu. Ada yang mengatakan, ‘ Gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara ’. Dan yang lain menyatakan ‘ Gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi ’. Umar berkata, ‘ tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat? ’ Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘ Wahai, Bilal. Berdirilah dan serulah untuk shalat’.”