Ting tooong..!

Suara bel pintu rumah memanggilku. Guruku yang satu ini hebat juga. Dia seorang relawan. Datang seminggu sekali mengajariku  Hollands praten. Meski tebalnya salju di jalanan, ia tetap menepati janjinya.

Hari ini 14 Februari. Tak ada riuh Valentine, iklan – iklan rumah bordil setahun sekali di TV tak ditayangkan. Sambil menyorongkan sekotak coklat untuknya, aku  bertanya :

“Sudahkah kamu  siapkan moment terindah dengan pacarmu ?”. (Dia tidak menikah, tapi sudah mempunyai 2 orang anak dengan wanita sebelumnya. Hehe..ini hal biasa ).

Pertanyaanku malah dijawab dengan pertanyaan lagi.

“Maksudmu Valentine?, ” tanyanya kembali.

” ya,” aku mengangguk.

” Oo, kalian merayakannya ?, ” kali ini mimiknya mulai serius. Aku tertawa.

“Tidak” : ku jawab lalu memberikannya secangkir teh hangat.

“Kamu tahu, itu sengaja diciptakan untuk kepentingan bisnis, lihat saja setiap mendekati tanggal itu, akan ada film – film romantis dirilis serentak di dunia. Toko – toko dipenuhi dengan coklat, bunga dan kartu kartu Valentine. Bisnis global meraup keuntungan berlipat – lipat, terus begitu berputar setiap tahun “.

Aku masih tak percaya mendengarnya. Bukan kalimatnya, tapi cara berpikirnya. Ku betulkan posisi dudukku.

“Kamu akan sibuk dengan antrian hari – hari serupa dalam setahun. Dan sekarang hanya corona yang bisa menghentikannya, ” lanjut ceritanya penuh antusias. Apa yang barusan tertangkap telingaku, sama seperti cerita seorang oma – oma tentang Valentine ini beberapa tahun lalu kepadaku.

Aku tertegun menatapnya. Ada berapakah orang – orang yang berpikiran seperti mereka di daratan ini ? Mereka bukan muslim yang terikat aturan agama.

Mereka hanya orang – orang yang mulai lelah akan gaya hidup hedonis. Cara hidup bersenang – senang,  menggelontorkan uang hanya untuk deretan hari – hari simbolik itu.

Di negeriku, hampir semua orang berlomba – lomba merayakannya, terutama umat muslim. Muslim yang dulunya menjadi ikon bumi, kini seperti bayangan hitam yang mengekor tuannya kemanapun tuannya menuju.

Ketika diingatkan, masih banyak belum rela melepaskannya. Generasi Islam terseret dalam kubangan perang ghazwul fikri. Mereka kehilangan identitasnya sebab ilmu yang tak mencukupi. Sayangnya, ilmu itu ada dalam mushaf – mushaf Al – Qur’an yang tergeletak begitu saja dalam rumah – rumah mereka.

Dalam sebuah hadits disebutkan :

عَن عُمَرَ بنِ الخَطٌاَبِ رَضَي اللٌهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولٌ اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ اِنَ اللٌهَ يَرفَعُ بِهذَ االكتَاِبِ اَقَوامًا وَيَضَعُ بِه اخَرِينَ (رواه مسلم)

Dari Umar RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Allah mengangakat derajat beberapa kaum melalui kitab ini ( Al – Qur’an ) dan Dia merendahkan beberapa kaum lainnya melalui kitab ini pula “. (HR : Muslim)

Begitulah Allah mencabut izzah umat Islam.  Meredupnya cahaya generasi langit, sebab menjauh dari titik cahaya-Nya berpindah memilih gemerlap bumi yang rentan akan kehancuran.

Temans, Valentine tak dapat menjamin cinta dua anak manusia. Cinta itu milik Allah.  Datang dan dekati Dia dengan telapak yang menengadah di saat semua orang terlelap. Setiap penggal lirih  suaramu dalam keheningan malam, diterbangkan melewati tujuh lapis langit ditemani cahaya bintang.

Mintalah pada-Nya untuk disandingkan dengan cinta pilihan-Nya yang juga terpilih di hatimu. Jangan ragu pada keta’atan. Sungguh jalan cinta dan mimpimu, akan terbentang luas atas kehendak-Nya dengan cara-Nya. Wujudkan itu dalam taqwa dan kesabaranmu.

Semoga segera Allah kirimkan berjuta  malaikatnya menyentuh setiap hati yang mau kembali dalam kehangatan cahaya hidayah-Nya. Wallahu a’lam bishowab.

Geldrop, 2 Rajab 1442 H.

(Sumber : kajian ustadz Budi Ashari, webinar bersama mbak Uttiek Herlambang dan khazanah Islam).