Mataku tak lepas dari timbunan salju yang terus berserakan di atas lantai kayu teras. Sepoi angin menyapu lembut wajahku. Sambil menggigit sepotong kue bersama beberapa tegukan teh, rasa hangat menjalar mengusir desiran dingin.

Pikiranku melambung terbang ke negeri tetangga berabad – abad lalu. Negeri sejuta cahaya,  Andalusia Spanyol.

Ya ! es krim. Ku ikuti jejak sejarah es krim. Kisahnya sudah ada 200 tahun sebelum masehi di daratan China. Mereka mengambil salju dari pegunungan lalu dihidangkan bersama buah – buahan dan madu. Cara ini bertahan sampai abad ke-4, kekuasaan Kaisar Nero.

Sampai di sini, cerita es krim menghilang tertelan bumi, aku mencari – cari bekas tapaknya, ternyata muncul kembali pada abad ke-13.

Konon, Marco Polo membawa resep es krim dalam perjalanannya dari China menuju Eropa. Lompatan masa menurut sejarah Barat ini rasanya tak bisa lagi disembunyikan.

Sudahlah…, kamu ketahuan ! Sesungguhnya temuan es krim yang berkembang hingga kini, dibawa oleh pedagang Arab ke Sisilia, pada masa kejayaan peradaban Islam di Andalusia, di rentang waktu  yang dihilangkan itu.

Sisilia, Perancis Selatan dan Portugal adalah bentangan wilayah Daulah Islam Andalusia tahun 711 M – 1492 M.

Para pedagang Arab memperkenalkan es krim sampai ke Sisilia. Italia menyebutnya cassata dari bahasa Arab qashada (krim).

Waktu itu sebuah wadah untuk  menahan laju lelehan es krim sudah diciptakan, fungsinya seperti termos es sekarang ini.

Menu es krim sebagai frozen dessert di meja – meja makan para bangsawan Andalusia  maupun keluarga kerajaan menjadi menu favorit mereka dikala winter.

Etika makan bergaya Andalusia, pertama kali dikenalkan oleh Abul – Hasan Ali bin Nafi. Barat mengenalnya dengan sebutan Ziryab.

Pembagian makanan seperti appetizer, main course, dan dessert atau menu pembuka, menu utama dan menu penutup ini adalah hasil karya Ziryab.

Ia seorang seniman dari negeri seribu satu malam Harun Al – Rasyid, juga berprofesi seperti perancang mode, menciptakan fashion empat musim.

Entah bagaimana kisahnya, Ziryab melebarkan sayapnya hinggap di jendela – jendela majelis – majelis ilmu.

Masyarakat muslim dibuatnya terbuai dengan kicauan senandung lagu – lagu, menggantikan alunan nada – nada indah Al – Qur’an.

Tarian – tarian pun, menggeser kekuatan ilmu yang membesarkan mereka. Semua orang dibuatnya terbawa arus mode dan kuliner.

Al – Qur’an di rumah – rumah penduduk terlihat mulai berdebu. Tersisa sedikit dari mereka yang tetap bertahan dalam ruang – ruang ilmu. Padahal pemimpin Andalusia waktu itu, Abdurrahman Al – Ausath seorang pencinta ilmu.

Ketika gemerlap dunia menghadirkan fashion, food and fun, letupan nafsu mulai membakar keta’atan generasi mudanya. Mercusuar bumi itu, perlahan meredup kehilangan cahaya dalam kurun waktu dua ratus tahun terakhir dan mati.

Laksana rayap yang menggerogoti pilar pilar rumah, bangunan negeri sejuta ilmu, roboh satu persatu meninggalkan puing – puing keagungan.

Mozaik langit di atas Andalusia, persis seperti keadaan bumi saat ini. Tak ada arah mata angin kecuali Andalusia. Kiblat dunia yang menjadi tujuan anak manusia.

Gamis dan sorban menjadi lambang intelektualitas. Semua yang berbau ke Arab – araban digandrungi anak anak muda. Orang Eropa maupun bangsawan terpelajar, bila berbicara sengaja menyelipkan beberapa kosa kata Arab. Mozarabic, keren katanya.

Goede morgen, honey…!

Suara rendah suamiku membuyarkan perjalanan panjangku di Andalusia.