Retaknya Gelas Peradaban
Mereka mendefenisikan kembali sebutan suami istri. Bagi penganut ini, istri tak selalu berjenis perempuan dan suami tak selalu bergender lelaki. Tergantung kemana cinta akan ditambatkan.
Di Belanda, banyak kutemukan spesies ini. Perkembangan mereka tumbuh pesat masuk menyentuh anak - anak. Sejak dini mereka mulai diperkenalkan mempunyai dua ibu tanpa ayah, atau dua ayah tanpa ibu. Segalanya dinormalkan dalam pikiran anak sejak dini.
Di belahan bumi lain sibuk mengatur kembali konsep pernikahan mengikuti birahi. Sementara di belahan bumi lainnya puluhan ribu manusia meregang nyawa tanpa ada yang mampu menghentikannya.
Sungguh sebuah krisis kemanusiaan sedang mencabik - cabik penduduk bumi.
Bukan Sekedar Agama Ritual
Islam bukan sekadar agama ritual, namun Islam membawa rahmat bagi semesta alam.
Sore ini, kubiarkan diriku berayun di kursi gantung pelataran belakang. Dahan - dahan pohon kembali menghijau. Tanaman anggurku sudah rapat menutupi tembok. Sebentar lagi akan berbuah, mengundang burung - burung bertamu di pagi hari.
Kupejamkan mata beberapa menit sebelum kuputuskan berwudhu untuk sholat Maghrib. Mataharipun turun dengan khusyuk membawa senja.
Senja yang sama, saat Rasulullah duduk bersama para sahabatnya.
" Maukah kalian, aku tunjukkan suatu perbuatan, jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai ? "
" Apakah itu wahai Rasulullah " : kata para sahabat.
" Tebarkan salam diantara kalian...."
Sejatinya salam mencairkan hati sekeras batu, merekatkan ukhuwah kaum Muslimin.
Betul kata orang - orang. Bumi semakin tua. Bumi semakin rapuh. Peradaban manusiapun kian merosot.
Saatnya mengganti retaknya gelas peradaban ini dengan sebentuk cangkir porselen peradaban Islam. Hanya Islam yang mampu menjawab segala keterpurukan ini, mengembalikan kembali status manusia pada fitrahnya (*)
Geldrop, 19 Dzulhijjah 1445 H