Entah sudah terdoktrin, hal ini secara otomatis  menghilangkan kemungkinan Ras Melanesia untuk menjadi presiden. Kedua, peran partai politik dalam membesarkan tokoh tertentu, biasanya  hanya berpusat pada tokoh-tokoh publik di wilayah Jawa.

Hal ini menyebabkan tokoh-tokoh dari Ras Melanesia hanya sebatas mensukseskan figur-figur politik yang berkiprah dan dikenal di wilayah Jawa. Ketiga, sadar atau tidak, asumsi publik di Indonesia masih meng underestimate kemampuan tokoh-tokoh dari rumpun Melanesia.

Ia menilai, dalam tataran tertentu, hal ini ikut menumbuhkan benih  diskriminasi dan rasisme. Watak rumpun Melanesia yang keras, seringkali  dianggap kurang pas sebagai pemimpin NKRI.

Di antara politik identitas itu, Ras Melanesia belum punya tokoh besar yang  mampu mempersatukan semua orang dari hulu sampai hilir, dari gunung  sampai pantai, dari hutan sampai perkotaan.

Kalaupun ada, biasanya nasib  tokoh ini tidak lama. Ketiadaan tokoh ini menyebabkan masyarakat rumpun  Melanesia hanya mampu ikut memilih saja tanpa mampu menampilkan  putra-putri terbaiknya untuk dipilih.

“Semua persoalan di atas seharusnya memberikan inspirasi bagi anak-anak  ras Ras Melanesia untuk mulai bertanya pada diri sendiri, kapankah Ras  Melanesia menjadi presiden RI?,” ujarnya.

Menurutnya, inspirasi ini memberi motivasi agar peta politik masyarakat mampu melahirkan, membesarkan, dan memberi jalan luas bagi tokoh publik dari rumpun Melanesia sehingga diakui di kancah nasional.

Sudah  saatnya ruang-ruang politik Ras Melanesia bersatu, membawa nama-nama  yang bisa bersaing di khazanah politik Indonesia. Keterpecahan politik yang  disebabkan oleh ambisi pribadi maupun kelompok, seringkali menghambat  lahirnya tokoh politik dari Ras Melanesia.

Dengan kata lain, perjuangan  politik Ras Melanesia masih sangat diaspora, menyebar tanpa koordinasi. Bila hal ini tidak dilakukan, maka sampai kapanpun Ras Melanesia tidak  bisa menjadi presiden di Indonesia. 

Dalam alur yang sama, peran media pun sangat dibutuhkan dalam  membesarkan tokoh politik dari Ras Melanesia. Bila media-media  mainstream nasional masih hanya berfokus pada publik figur di wilayah  Jawa, maka kesempatan bagi tokoh publik rumpun Melanesia semakin  meredup.

 “Jadi mau tidak mau, hanya Orang Melenesia sendirilah yang bisa  menempatkan dirinya sendiri di bentara politik Indonesia,” pungkas Filep  Wamafma. (*)

Editor : Redaksi