Catatan : Ahmad Ibrahim

Ini untuk kali pertama saya melintasi ke arah Timur Pulau Ambon. Kalau ke arah barat dari Desa Laha, Desa Liliboy, Desa Allang, Desa Wakasihu, Desa Larike, hingga Desa Negeri Lima sudah sering.

Pun untuk arah ke Desa Hitu, Hitumesing, Wakal, dan Hila juga sudah selalu saya lewati. Tapi dari arah Mamala dan Morela ke Pantai Liang baru kali pertama, Minggu, (9/1/2022).

Hanya memakan waktu 45 menit dari Desa Mamala dan Morela kita sudah bisa tiba di Pantai Liang, pantai yang menjadi tempat favorit para wisatawan lokal Ambon dan sekitarnya itu.

Tak beda jauh dengan Desa Liliboy, Allang, Wakasihu, Larike, Hitu, Hitumesing, Wakal, Hila dst, rumah warga di sana memiliki kemiripan. Antara badan jalan umum dengan rumah-rumah penduduk saling berdempetan.

Di jalan nan sempit itulah kendaraan pribadi, motor roda dua, dan angkutan umum lalulalang.

Suasana tak beda jauh juga saya jumpai di Desa Liang, Desa Tial, Desa Tenga-Tenga, pun di Desa Waai dan Desa Tulehu. Di jalanannya nan sempit itu terlihat warga begitu bersahaja.

Jalannya datar dan sedikit berlubang di sepanjang pantai menuju Pantai Liang banyak bermunculan tempat-tempat wisata baru.

Di bibir pantai inilah dikelola oleh penduduk sebagai tempat wisata dengan nama-nama lokal. Ada Hallasi Beach, Lavega Beach, Black Stone Beach, Pema Story, Waimata Resort, Litahahi Beach, Lubang Buaya Beach,  Letan Beach, Pantai Batu Kuda, dll.

Wilayah ini menjadi tempat alternatif bagi para wisatawan lokal untuk mereka yang berwisata ke arah timur Pulau Ambon selain Pantai Natsepa, Pantai Liang, atau Pantai Tial.

Meski berada di Pulau Ambon kawasan objek wisata ini masuk wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah beribukotakan Masohi itu.

Tentu kalau untuk urusan izin usaha atau KTP harus bermil-mil menyeberang laut ke Pulau Seram itu. Ketimbang ke ibukota provinsi Ambon yang hanya ditempuh kurang lebih 40 Km itu.

Kawasan ini kerab menjadi ajang "pergulatan" politik setiap menjelang pemilihan kepala daerah. Salah satunya adalah isu menjadikan wilayah ini sebagai "alat" bergaining terkait pemekaran wilayah untuk menjadikan Jazirah Leihitu ini sebagai Daerah Otonom Baru (DOB). Namun seiring pergantian rezim janji-janji politik untuk memasukan kawasan ini menjadi DOB seolah mati angin.