“Total penerimaan negara dari pajak karbon adalah Rp.40 milliar/ tahun. Artinya jauh lebih kecil dari komitmen dunia international untuk mendukung program Reducing Emission from Degradation and Deforestation (REDD+) yang besarnya mencapai U$ 1 Milliar,” rincinya.

Untuk itu, Ia menambahkan, sebagai mitra dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dirinya berpandangan bahwa anggaran REDD+ yang besar tersebut justru dapat digunakan untuk memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berkontribusi positif bagi lingkungan.

“Pada kondisi ekonomi yang tertekan akibat Pandemi Covid-19 ini, lebih baik pemerintah mengedepankan mekanisme insentif daripada disinsentif berupa pengenaan pajak,” tutup Saadiah.

Webinar  yang digelar RADESA Institute dengan tema ‘Peluang dan Tantangan Implementasi Pajak Karbon dalam RUU KUP’ itu juga menghadirkan sejumlah pembicara antara lain,  Anggota Komisi XI DPR RI FPKB, Fathan Subakti,

Joko Tri Jaryanto dari  Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, Dosen Ekonomi UHAMKA, Ambarsari Dwicahyani dan Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia,  Paul Butar Butar (*)

Pewarta : Dhino Pattisahusiwa