Zaman now dengan segala disrupsi teknologi yang dimiliki, memang dengan mudah menampikkan segala bentuk informasi yang terjadi di tengah masyarakat. Lewat smart phone [telepon pintar], kita acap kali menikmati beragam informasi yang disajikan warganet dalam waktu yang cukup singkat.

Termasuk peristiwa-peristiwa hangat dan mencengangkan mata publik hingga menjadi viral di dunia maya. Seperti yang terjadi kemarin. Publik Maluku, dipertontonkan dengan sebuah video pendek yang manampilkan seorang ibu berjilbab, jatuh tersungkur di atas trotoar di Kota Ambon yang menjadi wilayah otoritas publik.

Semua mata melotot, marah, iba dan gusar akan peristiwa tersebut. Bagaimana mungkin kawasan yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan  aman  bagi pejalan kaki, bisa berubah menjadi arena beresiko?

Miris memang. Peristiwa ini bukan baru pertama kali terjadi. Tercatat sudah berulang kali, trotoar di kota Ambon berubah bagai dodeso [Jerat dalam Bahasa Ambon].

11 November 2021 silam, seorang pria kekar juga menjadi viral karena tertangkap kamera netizen [warganet] memikul martel dan menumbuk trotoar yang sama di kawasan Pohon Pule Kota Ambon.

Setelah diusut, pria misterius itu, nekat merusak fasilitas publik itu lantaran istrinya juga jatuh tersungkur karena licin-nya permukaan trotoar di kawasan tersebut.      

Padahal, sejatinya dinamakan trotoar karena diserap dari bahasa Belanda Trottoir yang artinya ‘jalur pejalan kaki’.

Keputusan Direktur Jenderal Bina Marga No.76/KPTS/Db/1999 tanggal 20 Desember 1999 bahkan secara gamblang menjelaskan yang dimaksud dengan trotoar adalah bagian dari jalan raya yang khusus disediakan untuk pejalan kaki yang terletak di daerah manfaat jalan.

Kondisinya diberi lapisan permukaan dengan elevasi yang lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan, dan pada umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan.

Alasan adanya trotoar, karena para pejalan kaki dianggap berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan, maka mereka akan memperlambat arus lalu lintas dan juga berakibat fatal.

Makanya, salah satu tujuan utama dari manajemen lalu lintas adalah berusaha untuk memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang besar terhadap aksesibilitas dengan pembangunan trotoar.

Jika dimaknai fungsi trotoar sesuai yang diinginkan di atas, maka sesungguhnya apa yang disediakan pemerintah di Kota Ambon saat ini masih jauh dari makna trotoar sebenarnya. 

Alasannya, aksesibilitas tidak terganggu dengan lalu lintas, tapi dengan failitas yang disediakan itu sendiri.

Insiden trotoar ala dodeso yang sudah berulang memakan korban ini,  harusnya tidak lagi menjadi bahan gunjingan publik dan kajian pemerintah daerah. Sebab, dari sisi keamanan bahkan kenyamanan, kondisinya sudah tidak layak lagi dipertahankan.

Sudah jauh dari apa yang menjadi tujuan utama kehadiran trotoar itu sendiri. Sebagai warga negara yang taat hukum, kita memang kerap dihadapkan dengan dilema dalam menyikapi sebuah persoalan.

Diam menerima kenyataan,  itu sama artinya membiarkan kelemahan dan kurangan dari hasil pembangunan itu perlahan menjadi momok yang menakutkan bagi warga. 

Beraksi berlebihan akan lebih mudah divonis  melanggar hukum yang siap menjerat. Lalu seperti apa sikap kita sebagai warga? Tentu harus bersuara lantang agar tuan-tuan berdasi bisa mendengar jeritan warganya yang terus dihantui trotoar dodeso itu. 

Bila kita mau menoleh ke belakangan dan belajar sejarah di zaman dulu, harusnya orang Maluku di tanahnya sendiri [terutama pemerintah daerah] tidak boleh lalai dalam merancang sebuah konsep infrastruktur yang diperuntukkan bagi masyarakat di daerah ini. Apalagi itu terkait dengan kepentingan publik.

Apa alasannya? Maluku ini dulu dikenal, karena telah melahirkan Founding Fathers. Salah satunya adalah tokoh di bidang pembangunan [infratrukturs] di zaman penjajahan Belanda yakni Martinus Putuhena. Karena kecerdasannya Putuhena menjadi Menteri Pekerjaan Umum di zaman revolusi. Bahkan jabatan itu dipegang dalam tiga kabinet.

Dari tangan dan pikiran Putuhena, kita kini mengenal Kota Yogyakarta dengan segala keindahannya itu. Putra Maluku inilah yang menjadi pencetus dasar pembangunan tempat dimana Kampus Universitas Gadja Mada pertama kali didirikan disana. 

Harusnya, kemajuan zaman yang begitu cepat dengan ragam teknologi yang tersaji dan kemudahan publik mengontrol pelaksanaan pembangunan,  baik hasil dan efeknya, pemerintah harus lebih smart mencetuskan program pembangunan yang ramah dan nyaman bagi warganya.

Pendeknya, anak cucu, Putuhena harus lebih baik dalam berkarya. Bukan malah sebaliknya. Di zaman itu para  Founding Fathers bergegas membangun negeri tanpa harus melalui mekanisme berbelit-belit. Dalam konidisi yang masih dihantui desingan peluru, dentuman bom dan ancaman pengasingan dari kaum kompeni Belanda, mereka berhasil merancang pembangunan dengan sukses.

Saat ini, melahirkan sebuah konsep pembangunan harus dilalui dengan beragam mekanisme dan regulasi, malah kita masih disuguhkan dengan hasil yang mencelakakan penggunanya [masyarakat].  

Pemerintah daerah harusnya jangan bersikap apriori terhadap apa yang terjadi saat ini. Sebagai pelaksana pembangunan,  harus bersikap empirisme dengan melihat fakta yang terjadi saat ini,  dari apa yang dihasilkan dan dirasakan masyarakat.

Sampai kapan trotoar di kota bertajuk manise ini menjelma menjadi dodeso?  Masyarakat tentunya tidak ingin tahu bahkan tidak pusing dengan apa yang menjadi penyebab trotoar itu diperbaiki dan dirubah menjadi kondisi terbaru saat ini.

Yang menjadi masalah, ketika perubahan yang dinilai urgen itu malah menjadi petaka bagi mereka. Baiknya kemelut trotoar ini dapat diselesaikan dengan bijak sebelum menjadi petaka berjamaah bagi kita semua. Ingat  kata Theodore Roosevelt : "Arahkan mata Anda pada bintang-bintang dengan kaki tetap berpijak pada tanah."  (*)