Mulyadi dan Wakaf untuk  HMI

Harus diakui Mulyadi adalah Ketua Umum PB  HMI  yang dinamis mengelola dinamika HMI. Tidak banyak riak di era kepengurusannya, yang mengarah ke perpecahan HMI. Dari sejarah kontemporernya HMI  dua dekade terakhir, mengalami problem konsolidasi dengan munculnya dualisme kepengurusan. Tidak hanya di PB HMI, namun juga dialami secara akut di cabang-cabang dan Badko.

Selama  Mul memimpin HMI baik sebagai Sekjen maupun Ketum, dinamika tinggi kontestasi struktural di HMI dapat diselesaikan dengan baik. Penyelesaiannya selalu akomodatif, dan berbasis statuta HMI.  Padahal kontestasi HMI, tidak hanya memanas di tingkat pusat, namun  juga di Badko dan cabang-cabang. Tantangannya juga tidak hanya dari dalam, namun juga dari luar. Dalam keadaan demikian, kepemimpinan menjadi perekatnya.

Setelah era kepemimpinannya dengan munculnya kembali dualisme, tentu saja menjadi hal yang disesalkan. Padahal dibandingkan Mul yang awalnya tidak dianggap, profil caketum HMI periode berikutnya lebih memberi harapan.

Potensi intelektual bagus, lahir dari Kongres dengan aklamasi, namun leadership-nya banyak menuai kritik. Ketidakpuasan jangka pendek, dari sisi internal akan memicu lahirnya aspirasi struktural yang berbeda. Ini akan menjadi awal munculnya dualisme di HMI.

Tipikal kepemimpinan ala Mulyadi yang akomodatif, mungkin penting jadi wakaf dan pelajaran berarti bagi  HMI. Meskipun dia bukan tokoh yang punya legacy seperti Cak Nur, Kakanda Anas Urbaningrum, Bang Akbar Tandjung atau ketum-ketum lainnya, namun kepergiaannya yang lebih muda, lebih cepat dalam kiprah dan sejarahnya, sangat relevan untuk meng-instrupsi kondisi kekinian HMI.

Sejarahnya di PB HMI adalah pandangan sebelah mata awalnya, namun dia relasikan dengan rendah hati dan akomodatif. Tesis konflik-konsensus  dalam dinamika struktural HMI, harus dihadapi dengan rendah hati.  HMI mengalami peningkatan kuantitas kader dengan cepat dan gemilang, namun mengalami liberasi struktural  yang rapuh. Ini kemajuan HMI yang sekaligus menjadi tantangannya.

Dan kita selalu berujar ditengah kerapuhan konsolidasi struktural ini dengan kalimat :”Di HMI kita berkawan lebi dari saudara”.   Ini saatnya kita berbenah, justru dengan nasehat berpulangna si Jago Masak, Mulyadi Poniman Tamsir.  Dan itu dapat dimulai  melalui pengalaman reflektif sejarahnya di HMI, tentunya! (***)