Amsori menganggap, para pemimpin di daerah masih merasa dirinya menjadi "Raja" yang dapat mengeruk keuntungan daerahnya.

“Hampir setiap bulan kita menyaksikan  bupati/walikota /gubernur  ditangkap oleh KPK,”ketusnya.

Menurut dia, hal itu disebabkan oleh cost atau biaya perhelatan pilkada begitu mahal. Apalagi, partai politik mendadak menjadi "rental" untuk sebuah surat [rekomendasi], pengusung calon kepala daerah.

Belum lagi, lanjut Amsori, biaya tim sukses yang harganya besar alias mahal, dan jika diakumulasi secara keseluruhan  hampir sama dengan biaya rekomendasi partai "rental".

Menurut dia, beban pilkada itulah yang membuat sekaligus memantik oknum kepala daerah harus mengembalikan biaya secepat kilat, maka kepala daerah  memilih  jalan "begal" yakni menyelewengkan anggaran negara dan daerah.

Meski begitu Amsori mengakui, pilkada langsung memang indah jika di lihat dari kaca mata demokrasi. Namun, praktiknya malah membutakan akal sehat.

 

Dr Amsori, Dosen FISIP Universitas Nasional/Direktur Pusat Data dan Riset (Pusdari).  /IST
Dr Amsori, Dosen FISIP Universitas Nasional/Direktur Pusat Data dan Riset (Pusdari). /IST

Menurut Amsori, rakyat hanya dijadikan raja ketika perhelatan pilkada. Setelah usai, justru rakyat hanya menjadi ‘hidangan lezat’ [pajak] kepala daerah.

Dia kemudian menyarankan, sebaiknya pemilihan kepala daerah dikembalikan ke penunjukan langsung melalui mekanisme yang transparan, dimana harus melibatkan akademisi dan ahlinya.

“Jika  Pilkada ditunjuk langsung, setidaknya kita dapat menghemat anggaran yang seharusnya dipakai oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini KPUD,”tukas Amsori.   (*)

 

Editor : Samad Vanath Sallatalohy