100 Hari Kerja Kepemimpinan ‘LAWAMENA‘

Sejak masa pemerintahan FDR pada 24 Juli 1933, Negeri ‘Paman Sam’ yang sedang menghadapi kemelut besar, memutuskan peluncuran gelombang besar kebijakan dan tindakan eksekutif untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda saat itu, dengan meloloskan 15 RUU melalui Kongres.
Pada tahun pertamanya menjabat, tingkat pengangguran di AS mencapai puncaknya sekitar 25%, atau sekitar lebih dari 12 juta warga AS yang kehilangan pekerjaan.
FDR dan pemerintahannya pun mengesahkan 15 RUU melalui kongres yang memiliki tujuan untuk meningkatkan lapangan kerja, membantu warga AS di negara bagian pedesaan, serta memberlakukan reformasi keuangan.
Selang satu tahun, pengangguran mulai menurun dan PDB negara AS juga mulai meningkat, sehingga FDR membawa kelegaan bagi jutaan masyarakat AS.
Tindakan cepat membuat 100 Hari Kerja pertama menjadi tonggak penting dalam sejarah politik AS. Sejak saat itu, setiap presiden AS yang baru menjabat dihadapkan pada ekspektasi tinggi untuk segera menunjukkan hasil dalam 100 hari pertama.
Pada tataran kepemimpinan seorang Presiden, pendekatan 100 Hari Kerja mungkin masih sangat relevan disandingkan dengan apa yang dilakukan Presiden FDR saat memimpin Amerika Serikat.
Hal ini lantaran kewenangan Presiden lebih besar, meliputi kebijakan mengatur Negara dengan berbagai regulasinya dan juga kewengan mengatur fiskal untuk memuluskan rencana kerja yang telah digodok.
Kadang ekspektasi publik terlalu tinggi menembus cakrawala nan biru, sehingga kita kerap melihat dan bertanya program apa yang sudah dijalankan Gubenur dan Wakilnya, Bupati dan Wakilnya dan juga Wali Kota dan Wakilnya di masa 100 Hari Kerja itu.
Pertanyaan ini memang tidak salah, tapi tidak bisa pula dibenarkan bila pendekatan pemikirannya berupa proyek atau pembangunan fisik. Tanpa sadar, kita lupa meraka memimpin di level lapis kedua dan ketiga.
Kewenangan dan kebijakan mereka pun kerap tersandung dengan kebijakan yang ditetapkan pada kepemimpinan setingkat di atasnya yakni Presiden.
Sebuah contoh konkrit yang dihadapi pemerintah di setiap daerah saat ini adalah kebijakan yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto yakni Efisiensi Anggaran tahun 2025, yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2025.
Keluarnya kebijakan ini sudah tentu akan berpengaruh langsung dengan kepemimpinan yang ada di level bawahnya. Pendeknya, pemeritah daerah harus merubah kembali skema dipakai sebelumnya. Tentu menggunakan skala prioritas program dari apa yang sebelumnya ditetapkan.