“Bagaimana caranya daerah- daerah yang hendak mengakses pembangunan Pelabuhan Perikanan. Saya kira ini penting dijelaskan, agar tidak salah dalam pengaturannya kedepan,” bebernya.

Selain itu, Saadiah juga mempertanyakan, mengapa Ditjen Budidaya hanya menjadikan produksi sebagai indikator kinerja utama. Padahal, seharusnya perbaikan tata kelola dan keberhasilan program seperti kampung budidaya juga harus masuk kedalam IKU Ditjen Budidaya.

Ia juga menyoroti soal kinerja ekspor perikanan adalah persoalan logistic yang belum begitu baik seperti masalah konektivitas antara sentra produksi /pengumpulan dan sentra distribusi, industri, dan konsumsi secara efisien.

“Terdapat keterbatasan infrastrujtur dan penyedia jasa logistic di sentra perikanan, kualitas SDM pelaku usaha perikanan dan keterbatasan teknologi informasi untuk logistic perikanan,” tutupnya.

Atas kondisi kekinian, Uluputty juga menyampaikan permohonan agar ada bantuan perikanan tangkap di Maluku disesuaikan dengan kebutuhan daerah mulai dari perahu katinting, bodi pàncing tonda, bobong, bagang dan kapal  penangkap 30 GT.

“Saya juga meminta tenaga Penyuluh Perikanan ditambah disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Melanjutkan fakta yang saya temuai saat sosialiasi 2 hari kemarin di Kecamatan Salahutu bersama penyuluh dan nelayan,” pintanya.

Penambahan ini perlu direspon, karena   dalam pertemuan tersebut Kepala BP3 menyampaikan bahwa jika dibandingkan tenaga Penyuluh Pertanian di Maluku sudah ada sebanyak 500 orang dan berbasis desa. Sementara Penyuluh Perikanan masih 100 orang.

“Jangankan desa kecamatan pun belum cukup. Padahal secara geografis dan potensial harusnya Penyuluh Perikanan di Maluku ditambah melebihi Penyuluh Pertanian.  Ini salah satu persoalan yang sering ditemui terutama saat nelayan membutuhkan pendampingan dan akses bantuan pemerintah haruslah didaftarakan ke kartu KUSUKA, membuat proposal dll,” tutupnya (*)

Pewarta : dhino pattisahusiwa