BERITABETA, Jakarta – Ajakan untuk tidak memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden saat aksi bela tauhid beberapa waktu lalu bukan merupakan kampanye.

Hal itu ditegaskan Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia, Ratna Dewi Pettalolo di kantor Bawaslu RI, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (06/11/2018).

Menurut Ratna, yang dimaksud kampanye adalah ketika dilakukan oleh tiga unsur, yakni peserta pemilu, tim kampanye dan pelaksana kampanye.

“Nah, larangan itu kalau ada aktivitas kampanye, jadi harus dinilai dulu itu kampanye atau bukan. Jadi itu semacam gerakan masyarakat yang tidak dilakukan oleh peserta pemilu dan tim kampanye atau pelaksana kampanye,” tandas Ratna.

Dirinya menjelaskan, kalau merujuk ke definisi ketentuan umum, kampanye itu adalah dilakukan oleh peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu. Pihak yang ditunjuk ini adalah pihak yang didaftarkan di KPU, apakah dia peserta atau dia pelaksana kampanye.

Kata Ratna, kalau itu terpenuhi, maka akan kita lihat, apakah dalam aktivitas itu ada penyampaian visi, misi dan citra diri. Jika pihaknya telah menemukan perbuatan itu ada unsur kampanye, baru aktivitas itu dikaitkan dengan larangan kampanye sebagaimana ketentuan pasal 280.

“Jadi saya belum bisa mengatakan ini melanggar atau tidak sebelum memberikan penilaian terhadap peristiwa itu,” bebernya.

Kendati demikian, Ratna melanjutkan, jika aktivitas tersebut menimbulkan sesuatu yang bisa mengganggu ketertiban atau mengandung ujaran kebencian, kalaupun tidak masuk dalam kategori kampanye yang memakai UU nomor 7 tahun 2017, bisa jadi perbuatan itu masuk dalam kategori perbuatan pelanggaraan tindak pidana umum.

Ratna bilang seperti kasusnya RS (Ratna Sarumpaet) kan, kemarin menurut Bawaslu itu tidak ada unsur pelanggaran terhadap UU nomor 7 tahun 2017. Tapi dia bisa masuk kategori palanggaran kategori pidana umum.

“Itu jelas konsep dalam UU ya, kan apa itu kampanye, kampanye itu kalau dilakukan oleh tiga unsur tersebut,” pungkasnya. (BB-ADIS)