Black Campaign dan Negatif Campaign
Oleh : Mayandri Suzarman, S.H.,M.H
(Alumni Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Angkatan ‘99, Hakim pada Pengadilan Negeri Bengkulu Kelas IA)
Kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk Periode 2024-2029 telah dimulai. Ada tiga bakal calon yang telah mendaftar ke KPU, yaitu Anis-Cak Imin, Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran. Kontestasi kali ini diikuti dengan drama Putusan Mahkamah Konstitusi.
Terlepas dari drama putusan Mahkamah Konstitusi yang sekarang masih heboh dibahas oleh khalayak, suasana politik sudah terasa memanas. Belum lagi dimulai proses pencalonan, pembicaraan Pilpres ini sudah mulai dibahas di warung-warung kopi.
Media pun tak kalah ketinggalan untuk membahas dan memantau perkembangan tahapan pilpres. Termasuk menganalisa kemungkinan-kemungkinan koalisi partai pengusung atau partai pengusul para kandidat.
Aroma pertarungan para elit kian hari kian gencar terlihat. Para kandidat sudah mulai memasang kuda-kuda. Ada yang masih kompak seiring sejalan. Ada pula yang sudah terang-terangan menyatakan berpisah. Hubungan yang dulu akur kini mulai merenggang.
Dahulu kemana-mana selalu mesra dalam koalisi, sekarang muka pun enggan tersenyum menyapa. Hal ini memang biasa terjadi di dunia politik. Dalam politik tidak ada kawan atau musuh yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.
Sepanjang masih dalam kepentingan bersama, maka hubungan akan selalu mesra. Jadi, jangan heran kalau kita melihat ada partai awalnya berkoalisi kini memisahkan diri.
Setiap kali Pemilihan Umum digelar, sering kita mendengar istilah Black Campaign dan Negative Campaign. Banyak di antara kita yang tidak mengetahui arti dan perbedaannya. Black Campaign dan Negative Campaign ini biasanya dilakukan oleh para kandidat dan tim sukses untuk menjatuhkan lawan–lawan politiknya.