Beberapa alasan bagi pelaku mengapa melakukan kampanye hitam dan kampanye negatif adalah untuk menjatuhkan nama baik lawan sehingga tidak didukung oleh masyarakat dan pemilih, mematikan karakter lawan karena akan membuka aib, kemudian untuk menurunkan elektabilitas calon.              

Kampanye hitam merupakan bentuk pelanggaran hukum yang dapat dijerat dengan pidana penjara dan/atau denda. Pasal 280 ayat (1) huruf d UU Pemilu  mengatur bahwa Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu, yaitu menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.

Selain itu, kampanye hitam di media sosial dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, tepatnya Pasal 28 Ayat 2 yang mengatur setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Perbuatan ini diancam dengan Pasal 45A Ayat 2 yang menyatakan setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

Berbeda dengan kampanye hitam, kampanye negatif tidak mempunyai konsekuensi hukum apapun. Kampanye negatif berisikan fakta tentang kekuarangan dan kelemahan sang calon. Sepanjang sesuai dengan fakta maka kampanye negatif tidak bisa ditindak secara hukum.