Sementara itu, Yoga Suprapto menegaskan, tidak ada hubungan hengkangnya Shell antara skema darat atau laut, karena lebih didasarkan pada problematika Prelude FLNG dan situasi pasar LNG dan lesunya ekonomi Dunia 5 – 10 Tahun mendatang.

Menurutnya, hengkangnya Shell karena kerugian dan masalah FLNG Prelude, persaingan antara proyek LNG dan ekonomi dunia menuju resesi karena Covid-19. Bahkan, Yoga mengatakan, Shell harus berterima kasih karena kilang dipindahkan ke darat, karena Indonesia menyelamatkan dari potensi kerugian US$ 10 Milyar, dan berbagai masalah teknis di Prelude FLNG.

“Shell sebenarnya faktor penting dalam pengelolaan Blok Masela dalam pendanaan, penjamin, dan pengalaman di LNG. Tetapi, tanpa Shell bukan berarti kiamat. Indonesia memiliki pengalaman LNG darat dan memiliki dukungan SDM. Indonesia memiliki kemampuan. Bahkan, Inpex-Indonesia juga dapat saja mengelola Blok Masela. Saya yakin, kalau Shell pergi aka nada pengganti dan setara,” tegas Yoga yang berpengalaman dalam pengelolaan LNG darat ini.

Haposan Napitupulu mengatakan, sebenarnya hal biasa saja pengganti mitra dalam industri hulu Migas. Namun, pemindahan ke darat itu sudah tepat, karena akan memberikan pengaruh ekonomi bagi kawasan.

“Keberadaan Blok Masela itu juga dapat menjadi penggerak ekonomi kawasan di Maluku. Blok Masela ini merupakan temuan cadangan gas terbesar di Asia Tenggara dalam dua puluh tahun terakhir,” kata Haposan.

Haposan menjelaskan, keberadaan gas Masela harus digunakan untuk menghidupkan industri dalam negeri, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang luas.

Dia mencontohkan, ekspor gas ke negera tetangga, justru menghidupkan industri di negara tetangga dan semua produk hasil olahan gas itu dijual kembali ke Indonesia. Haposan juga menjelaskan beragam industri yang dihasilkan dari industri gas, yang dapat dikembangkan di dalam negeri.

Sementara itu, Ridwan Nyak Baik melihat sikap Shell  merupakan bentuk retorika yang selalu dilakukan berulang kali ketika merespon persoalan di Blok Masela. Ridwan mencatat,  setidaknya ada beberapa kali Shell berniat hengkang, tapi juga tidak hengkang sampai saat ini. “Saya lihat ini hanya taktik retorika belaka, karena sudah sering dilakukan seperti ini.

Menurut Ridwan, sikap Shell ini merupakan “lagu lama” yang sering diulang, tetapi sesungguhnya hanya berniat untuk menaikkan bargaining position dalam bernegosiasi. “Saya sendiri melihat Shell tidak serius untuk mundur dari LNG Abadi. Jadi jangan pedulikan Shell, karena itu hanya retorika semata,” tegasnya.

Sementara itu, Sosiolog Unpatti, Paulus Koritelu menyoroti persoalan sosial akibat tidak adanya transparansi dalam pengadaan lahan di lokasi kilang darat. Menurutnya, ketidaktahuan masyarakat dimanfaatkan untuk memborong tanah rakyat, kemudian dijual kepada inpex dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini sangat disayangkan, karena sekecil apapun, sebenarnya tanah rakyat itu dapat diikutkan sebagai saham, sehingga tanah masyarakat tidak akan hilang di masa mendatang.

Dia mengingatkan, adanya hubungan yang sangat kuat antara tanah dan rakyat di Maluku Tenggara. Menurutnya, ada sejumlah persoalan yang butuh perhatian serius, sehingga masalah yang ada tidak berlarut-larut. Tetapi, tidak boleh rakyat dirugikan dengan membeli tanah dengan harga yang sangat murah.

“Berkali lipat dari harga NJOP sekalipun tidak akan mampu menggantikan kehilangan tanah bagi generasi mendatang,” tegasnya.

Webinar ini diikuti berbagai kalangan, seperti akademisi, pemuda, aktivivis, mahasiswa, wartawan, tokoh masyarakat dan tokoh agama dan praktisi Migas. Webinar dengan menghadirkan praktisi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para peserta, sehingga berlangsung dalam beberapa jam (BB-DIA)