Catatan Kritik Atas Terbitnya Perwali 16 Tahun 2020
Kelima, terkait dengan “pengenaan sanksi”. Masalah ini penting karena berkaitan dengan pembatasan dan/atau pencabutan atas hak warga masyarakat. Secara akademik (dalam pendekatan hukum konstitusi) pembatasan dan/atau pencabuatan atas hak warga masyarakat dapat dilakukan, namun harus diatur dalam bentuk Undang Undang dan harus mendapatkan persetujuan parlamen atau DPR/DPRD (Perhatikan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Karean itu menjadi aneh kalau kemudian Perwali 16/2020 mengatur sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
Mengapa aneh ? Seyogyanya pengaturan sanksi diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) bukan dalam Peraturan Walikota. Mengapa? karena secara hierarki PerWali itu dalam pendekatan UU Nomor 11 Tahun 2011 memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (liha Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12/2011). Dengan demikian, pengaturan sanksi tersebut mesti ditinjau kembali.
Hal ini juga dipertegas dalam Surat Edara Menteri Dalam Negeri Nomor 440/3160/SJ tentang Optimalisasi Penerapan Protokol Kesehatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tertanggal 15 Mei 2020.
Di SE Mendagri ini dalam Angka (3) disebutkan “Menyiapkan Peraturan Daerah yang di dalamnya memuat penegakan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 dengan menerapkan sanksi administrasi berupa teguran dan/atau administrasi dan/atau denda atau bentuk lain agar memberikan efek jera kepada pelanggar serta menjadi dasar dalam menegakan peraturan di masa pandemi covid-19 sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang Undangan”
Dengan demikian, maka keberadanaan pengaturan sanksi dalam Perwali Nomor 16 tahun 2020 perlu dilakukan peninjauan kembali dan diatur secara hukum dalam bentuk Peaturan Daerah. Ini harus dilakukan, sehingga kita mengetahui mengapa dan apa dasar argumentasinya sehingga diterapkan sanksi, baik berupa saknsi adminstrasi/denda dan bahkan sanksi pidana, dan untuk mengetahuinya maka perlu dilakukan kajian naskah akademiknya.
Keenam, sebagai catatan juga, Pemerintah Provinsi Maluku sementara menyusun Ranperda tentang Pedoman Penegakan Protokol Kesehatan di Masa Pandemi Covid-19 di Maluku, sebagai tindak lanjut dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 440/3160/SJ, tertanggal 15 Mei 2020.
Pertanyaannya kemudian adalah jika Ranperda ini ditetapkan dan kemudian sesuain surat edaran Pemerintah Kota (termasuk Pemerintah Kabupaten) harus menyusun dan membuat Ranperda tersebut, bagaimanakah kemudian kosekuensi dan akibat hukum yang ditimbulkan dan bagaimana kekuatan mengikat dari pengaturan sanksi dalam Perwali 16/2020 tersebut ?
Bukankah ini kemudian akan menimbulkan permasalahan dalam aspek penerapan dan penegakan hukumnya? Penegasan ini bukan berati bahwa kita tidak mau mengikuti perintah dan pengaturan dari pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kota Ambon, akan tetapi sebagai akadmisi di bidang hukum hal ini penting untuk disampaikan agar tidak kemudian menimbulkan permasalahan hukum di dalamnya (penegakan dan penerapannya)
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Maluku secara umum termasuk Kota Ambon tidak memberlakukan kebijakan PSBB, tetapi memberlakukan kebijakan social distancing dan physical distancing. Kedua, kebijakan tersebut sama secara substansi (substantial mechanism) tetapi berbeda dalam pengaturannya secara operasional dan prosedural (Procedural Mechanism).
Pada bagian lain, kita mengharapkan adanya koornidasi lintas sektoral termasuk koordinasi antar satuan pemerintahan dalam hal ini Pemerintah Provinsi (melalui Gustu Covid-19) agar semua kebijakan pemerntah daerah yang bertujuan untuk pencegahan dan penanggulangan Covid-19 dapat berjalan secara terpadu, sistimatis dan terkoordinasi dan menjunjung tinggi hak asasi warga negara
“Dalam prespektif konstitusional, Negara (Pemerintah) wajib melindungi dan menjamin hak asasi warga negara (masyarakat) sekalipun berada dalam Keadaan Darurat atau StaateNoodrecht. Ataukah dalam keberadaan hukum (yang bersifat darurat) atau NoodStaatrecht, yang dalam hal perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi (aturan) penting untuk mendasakan diri pada Prinsip Proporsionalitas “principle of proporsionality” yang dikenal dalam hukum internasional. Prinsip ini dianggap sebagai ‘The crus of the self defence doctrine atau inti dari doktrin Self Defence” (***)