Ia mengemukakan sejumlah alasan. Pertama, suplai pangan global cenderung menurun akibat: (1) demand semakin meningkat karena pertambahan penduduk; (2) supply kian terbatas akibat alih fungsi lahan, Global Climate Change (GCC), dan kerusakan lingkungan lainnya; (3) negara-negara produsen pangan mulai membatasi ekspor pangannya karena GCC, pandemi Covid-19, dan perang Rusia vs Ukraina; dan (4) mafia pangan. “Kedua, akibat pandemi Covid-19, dunia menghadapi krisis pangan,” kata Prof Rokhmin mengutip data  FAO (2020).

Kedua, seiring dengan pertambahan penduduk, maka  permintaan bahan pangan bakal terus meningkat. 

“Kekurangan/kelangkaan pangan dapat memicu gejolak sosial dan politik  yang dapat mengakibatkan kejatuhan rezim pemerintahan,” ujar  Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia  (MAI).

Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu  lalu mengutip pidato Presiden Soekarno pada peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, IPB di Bogor, 27 April 1952, “Urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa.”

Rokhmin juga mengutip data  FAO (2000) yang menyatakan,  “Suatu negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa tidak mungkin bisa maju, sejahtera, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.”

Rokhmin mengatakan, sebagai negara maritim dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk berdaulat pangan, dan bahkan feeding the world (pengekspor pangan utama).

Menurutnya, Indonesia perlu melakukan revitalisasi dan pengembangan industri pengolahan pangan. Hal itu penting untuk mencapai kedaulatan pangan.

“Penguatan dan pengembangan industri pengolahan dan pengemasan semua komoditas pangan semaksimal mungkin, kecuali beberapa komoditas pangan tertentu,” ujarnya.

Supaya produk olahan pangan Indonesia kompetitif di tingkat global , kata dia, lakukan bench marking dengan negara-negara produsen pangan olahan terbaik di dunia (Jepang, Korsel, Thailand, Singapura, Australia, Canada, AS, Uni Eropa, dan Turki) (*)

Editor : Dhino Pattisahusiwa