BERITABETA.COM, Ambon – Sejumlah pemuda di Kota Ambon menyatakan dukungannya kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku untuk merealisakan sejumlah program pemerintah.

Berbagai program pemerintah yang kini digagas dinilai merupakan upaya dalam  meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat di daerah kepulauan ini.

Para pemuda menyatakan dukungannya dengan mengusung slogan, ‘Kami Mendukung Program Pemerintah untuk Kesejahteraan dan Keadilan Masyarakat Maluku’ dalam sebuah dialog yang berlangsung di Ambon, Senin (21/9/2020).

Dialog ini juga menghadirkan Direktur ARCM IAIN Ambon, Dr. Abidin Wakano, M.Ag dan Dosen Hukum Unpatti Ambon, Dr. Jemmy J Pietersz, SH., MH sebagai nara sumber.

Penyampaikan pernyataan dukungan ini juga sebagai bentuk pencegahan munculnya tindakan separatisme, yang sengaja dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Mereka menilai, sejak adanya kebijakan Pemerintah Pusat meloloskan beberapa program nasional termasuk Lumbung Ikan Nasional (LIN) tiba-tiba muncul berbagai aksi penolakan.  Padahal, sadar atau tidak, LIN menjadi salah satu program unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Maluku ke depan.

Dalam dialog yang dirangkai dengan virtual ZOOM ini, kedua nara sumber ini, mengajak generasi muda agar lebih serius meningkatkan sumber daya-nya di bidang pendidikan, terutama terkait bidang kelautan dan perikanan.

“Tanpa sumber daya manusia yang memadai, maka berbagai program yang dilaksanakan oleh pemerintah sulit untuk dikawal oleh pemuda di daerah ini,” tandas Abidin Wakano.

Dosen Hukum Unpatti Ambon, Dr. Jemmy J. Pietersz, SH., MH., mengawali dialognya dengan menarasikan sejarah pembentukan bangsa dan negara oleh para foundhing father.

Ia bahkan mengkritisi eforia yang kerap dibumingkan oleh generasi muda Maluku, yang menarasikan bahwa bangsa ini seolah dibentuk oleh Maluku. Padahal, Maluku baru akan menjadi provinsi pada tanggal 19 Agustus 1945, setelah negara dideklarasikan menjadi republik pada tanggal 17 Agustus 1945.

“Negara yang membentu Provinsi Maluku bukan sebaliknya,” papar dia.

Jemmy menganggap bahasa ini yang kerap salah dimaknai oleh generasi muda di daerah yang resmi mendapatkan Lumbung Ikan Nasional (LIN) ini.

Jemmy lalu menguraikan beberapa pasal dalam UUD 1945 yang memiliki hubungan dengan negara dan masyarakat hukum adat. Di mana, secara hukum adat, beberapa daerah di Indonesia sudah ada sebelum adanya Indonesia merdeka, termasuk di dalamnya Maluku.

Meski demikian, kata dia, Maluku bukan provinsi tapi negeri atau suatu daerah yang memiliki otonom pemerintahan adat. Setelah Indonesia merdeka, Maluku kemudian melebur dalam hukum Indonesia menjadi provinsi, yang dibentuk tanggal 19 Agustus 1945 tersebut.

Ia juga mengkritisi berbagai sikap yang kerap membenturkan kebijakan pemerintah dengan keinginan masyarakat khususnya dalam program Lumbung Ikan Nasional (LIN).

Menurut dia, masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan garis imaginer dengan kapasitas, di mana kemampuan untuk melaut.

“Terkadang masyarakat hukum adat menyatakan, wilayahnya sepanjang batas memandang. Itu berarti, logika hukumnya, adalah sepanjang batas masyarakat itu mampu untuk mengarungi wilayah laut itu. Maka, jika kita perhadapkan dengan situasi dengan negara, negara memiliki jurisdiski pada wilayah 12 mil,”urainya.

Padahal, kata dia, wilayah 12 mil ini tidak membatasi wilayah hukum adat. Hanya kepada kepentingan yang ingin mengelola wilayah laut dalam ruang lingkup 12 mil, tentu kepentingannya dengan negara.

“Negara memiliki tanggungjawab untuk menguasai kekayaan alam, bumi, air dan kekayaan alam yang ada di negara,” tukas Jemmy.

Ia menjelaskan, sebenarnya pada masyarakat hukum adat tidak terjadi konflik dalam penguasaan kewilayahan. Tapi, dalam persoalan pengolahan, wilayah laut harus disinergikan antara pemerintah dengan masyarakat, karena perspektif batas yang berbeda, bukan berarti juga akan terjadi konflik.

“Tapi, proses masyarakat hukum ada bagi saya butuh pengakuan, bahwa garis imajiner itu, bagian daripada kewilayahannya.”

Jemmy menegaskan, ada dalam konsep hukum adat di Maluku disebut dengan kosmologitenur.

“Misalnya, perspektif kita, laut itu kadang wilayah tertentu yang menggunakan pendekatan bameti, laut sebagai tanah basah, tetapi darat dianggap sebagai tanah kering. Karena itu, bagi satu kesatuan kosmologi, mereka bisa melakukan aktifitas, mungkin bagi pulau besar tidak nampak, tapi, di pulau-pulau kecil, kosmologi seperti itu menjadi faktor, sehingga tidak ada konflik. Tinggal disinergikan antara pemerintah dan masyarakat hukum adat,” jelas dia.

Ia mengakui, sebenarnya di ruang ini, masyarakat butuh pengakuan satu sisi, dan di saat pengakuan, mereka dilibatkan dalam kegiatannya.

“Pasti mereka mendukung sepenuhnya kegiatan itu,” simpul Jemmy.

Sementara Direktur ARMC IAIN Ambon Dr. Abidin Wakanno, M.Ag mengemukakan, terpenting dari pemuda untuk menyambut LIN, yakni membangun satu perspektif bersama.

“Kita tau bahwa LIN sudah ada kepastian. Maka, kita harus gabung semua jurus dan tidak boleh bercerai-berai. Pemuda harus bangun satu perspektif bersama untuk menjemput realisasi LIN di lapangan,” tekan Abidin.

Menurut dia, perubahan ke depan bukan saja soal LIN, tapi terpenting soal nilai tukar SDM generasi Maluku ke depan, terutama generasi muda, untuk dapat melihat ruang-ruang yang kosong, yang harus dimaksimalkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Bagaimana merubah paradigma dari masyarakat kita, juga generasi muda yang punya paradigma kontinental kepada paradigma yang lebih mengarah ke laut. Jangankan bicara tentang 12 mil, 1 mil saja, kalau kita dengan pengetahuan yang baik dengan keterampilan yang baik, mainset yang baik, kita bisa mengelolanya dengan baik untuk peningkatan kesehateraan,” simpul Abidin (BB-NAT)