Catatan : Mary Toekan Vermeer

Beberapa kali kamera para jurnalis mencuri kecantikan wajahnya. Mata indahnya sibuk menatap dalam, kedua orang nomor satu di kedua sisinya.

Hadir di tengah kedua pemimpin negara  sebagai interpreter (penerjemah), Ia harus memahami betul apa konteks pembicaraan mereka untuk memilih kata yang tepat. Jika sedikit saja salah interpretasi, bisa berakibat fatal. Dapat menggiring pembicaraan terbentur dinding kesalah pahaman.

Bagai magnet di tengah pertemuan tingkat dunia, muslimah cerdas nan cantik ini tampil memukau dengan busana muslimah menutup auratnya. Ia menjadi perbincangan di media - media, dunia nyata maupun maya.

Berlatar belakang akademis berkelas, ia bertugas menerjemahkan pembicaraan empat mata antara Presiden Turki Recep Thayyib Erdogan dengan Presiden Amerika Joe Bidden di Brussel, Belgia 14 Juni 2021 dalam KTT NATO beberapa waktu lalu.

Fatima Gulhan Abushanab, nama yang diberikan kedua orang tuanya kepadanya. Bukan saja Presiden Amerika Joe Biden, ia juga dipercaya Presiden Erdogan dalam pertemuan dengan  PM Pakistan Imran Khan, Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Emmanuel Macron.

Muslimah bermata indah ini, adalah seorang sarjana Hubungan Internasional lulusan Universitas George Mason dan menyelesaikan program masternya di Universitas Georgetown.

Berpengalaman sebagai asisten peneliti di berbagai riset terkemuka, juga di Pusat Cendekiawan Internasional Woodrow Wilson,        termasuk di Kongres Amerika Serikat.

Ayahnya, Ali Ahmed Abushanab, adalah seorang berkebangsaan Palestina, hijrah ke Yordania lalu ke Amerika dan menjadi warga negara di sana, sementara ibunya berkebangsaan Turki, terusir dari tanah kelahirannya saat berjuang mempertahankan sepotong kain penutup kepala.

Bila kini wanita berparas cantik ini dapat leluasa menggunakan hijab sebagai penutup auratnya hadir di tengah para pemimpin dunia, tidak sedikit karena perjuangan ibunda tercinta bersama para muslimah lainnya melawan pemerintah sekuler Turki.

Kisah perjuangan ibunya bernama Merve Safa Kavakc sungguh menyesakkan dada. Negara yang berdiri di atas syariat Islam selama beratus tahun itu dipaksa dijejali pemahaman sekuler kala dipimpin seorang Yahudi Dunamah Mustafa Kemal Ataturk.

Hijab menjadi barang terlarang di semua institusi pemerintah dan pendidikan di Turki. Berapa banyak sudah rekam jejak para mahasiswa muslimah di bawah todongan senjata mempertahankan jilbab yang dikenakan mereka.

Tak terkecuali Merve. Ia terpilih sebagai wakil Istanbul dari Partai Fazilet dalam pemilihan 18 April 1999. Saat mengambil sumpah di Majelis Nasional Besar Turki tanggal 2 Mei 1999, Merve teguh dengan hijab menutupi auratnya.

"Keluar !...di sini bukan tempat menantang negara. Bawa wanita itu keluar jalur pelantikan!"  suara ketus penuh kesombongan itu keluar dari mulut Perdana Menteri sekaligus Ketua Democratic Left Party  (DSP), Mustafa Bulent Ecevit yang sedang bertakhta di negeri Al Fatih (1974 – 2002).

Teriakan itu disambut para deputi partainya dengan kata - kata  " Keluar !! Ini negara sekuler. Hidup sekuler !! Uuuu....". Sorak sebagian besar anggota parlemen. Merve lalu digelandang polisi keluar dari aula gedung.

Tak gentar sedikitpun. Dengan wajah penuh percaya diri Merve mantap meninggalkan gedung terhormat itu.

Ia urung dilantik sekalipun partainya meraup 24 % suara pemilu kota dari 15,5 % pemilu nasional. Dan akhirnya partainya ikut dibubarkan pemerintah dua tahun kemudian kendati meraih 100 kursi.

Kewarganegaraan Merve dicabut. Ia harus angkat kaki dari tanah yang membesarkannya, tanah tumpah darahnya. "Aku tak akan melepaskan lambang kehormatanku sebagai muslimah ! ," ucap wanita bergelar hafidzah Al -  Qur'an itu dengan yakin.   

Negeri cahaya peradaban dalam cengkeraman kaum sekuler. Kemilau Turki sudah lama  meredup di tangan.mereka. Penduduk di kota - kota besar hidup bebas, lepas dari aturan agama. Istanbul yang penuh pesona keislaman, sekejap luntur keanggunannya.

Meskipun kota - kota mereka disesaki  megahnya bangunan bersejarah Islam, justeru  separuh dari mereka tak tahu menahu sejarah kebesaran negerinya, apalagi merasakan kebanggaan bahwa negerinya pernah menjadi    negara terkuat di dunia, imperium multinasional dan multi bahasa, dengan kekuasaan lintas benua, berbinar di dua pertiga permukaan bumi.

Sejarah keemasan mereka tidak banyak dipelajari, tertutupi dengan pemikiran bebas yang sekuler. Masyarakat dilarang keras menunjukkan identitas kemuslimannya. Suara adzan tak boleh menggunakan bahasa Arab, kumandangnya berganti dalam bahasa Turki.

Tanpa ampun letusan senjata bisa menembus raga siapa saja yang membangkang keputusan pemerintah. Semua yang berbau Arab dibabat habis sampai ke akar - akarnya. aksara Turki yang menggunakan huruf hijaiyah lenyap tertelan bumi.

Tak banyak yang bisa diteriakkan Merve disisa - sisa kebesaran Islam di negaranya. Walau tegar menghadapi para pecundang itu, ia harus meneruskan perjuangannya. Amerika menjadi pilihan tempat menyusun kembali kekuatan.

Di negeri adikuasa ini, Merve mendapat gelar  sarjana di bidang ilmu rekayasa perangkat lunak dari University of Texas, Dallas. Iapun meraih gelar master dari Harvard University, sementara PhD ilmu politiknya di raih di Howard University.

Merve diangkat menjadi professor di dua almamaternya,  Howard University dan George Washington University. Nama Merve resmi tercantum professor didepannya. Prof. Merve Kavakc, begitulah ia disebut di ajang - ajang resmi tingkat akademik maupun kenegaraan.

Semangat jihadnya tak jua surut. Setelah meraih kemapanan akademisnya. Ia menggugat parlemen Turki di Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa.

Tak sia - sia perjuangannya. Pengadilan Hak Asasi Manusia memenangkan gugatannya dan menyatakan bahwa pengusiran atas dirinya dari parlemen jelas merupakan sebuah pelanggaran HAM.

Kemenangan ini membuat ia berkeliling dunia menyuntik semangat hak - hak wanita berhijab. Namanyapun diabadikan dalam daftar 500 Muslim yang berpengaruh di dunia.

Ia banyak menerima undangan dari berbagai lembaga terhormat seperti Parlemen Inggris dan Parlemen Agama - Agama Dunia di Barcelona untuk menyampaikan pemikirannya atas pembelaannya kepada wanita - wanita berhijab.

Harvard, Yale, Hamburg, Hannover, Duisburg, hingga Cambridge adalah sejumlah universitas yang mengundangnya sebagai dosen tamu.

Perjuangannya bersama beberapa elemen di Turki, mulai menampakkan hasilnya. Dibawah pimpinan Erdogan, Turki menggeliat. Cahaya Islam perlahan mulai menghangatkan negeri dua benua ini.

Empat tahun lalu, di bulan Mei 2017, hak kewargaannegara Merve dikembalikan melalui keputusan kabinet. Kecerdasan dan semangat juangnya ini mengantarkan Merve dipercaya Erdogan menjadi Duta Besar Turki untuk Malaysia.

Dari kedua orang tua hebat ini, Fatima Gulhan Abushanab dititipkan Allah. Cerita perjuangan dan kecerdasan ibundanya kini berhembus kembali bersama kilau putri tercinta di panggung internasional.

Kini cahaya fajar telah nampak di ufuk Timur negeri bekas Konstantinopel itu.Putrinya dan para muslimah Turki beramai - ramai mengenakan hijab, merebak laksana tulip di musim semi.

Energi cinta mereka bagai kirana. Permata Islam dalam ketaatan ditengah invasi intelektual yang biasa dikenal dengan perang pemikiran atau ghazwul fikri. Wallahu a'lam bishowab.

Penulis : Pengagum sejarah Islam 

Geldrop, 29 Dhul - Hijjah 1442 H.