‘Gurihnya’ Isu Pangan Dalam Dialog Capres

Pada tahun 1971, Bulog mendapatkan tugas/peran baru, yaitu mempunyai tugas sebagai pengimpor gula dan gandum. Biaya besar untuk mendukung program pertanian tersebut ditopang oleh ekspor migas yang mencapai puncak harga tertinggi pada pada pertengahan dekade 1970an.
Soeharto punya ambisi yang kuat untuk mempercepat swasembada beras yang belum pernah dicapai sejak masa kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan mengadopsi program revolusi hijau sejak tahun 1974.
Sayangnya, program yang berbiaya mahal tersebut ternyata hanya menghasilkan swasembada beras pada tahun 1984, 1985, dan 1986 (berdasarkan laporan statistik pertanian dari BPS). Sesudahnya, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras, bahkan menjadi pengimpor beras terbesar di Asia Tenggara. Program revolusi hijau ini pun hanya menguntungkan petani kaya atau pemilik lahan dengan luas lahan lebih dari 1 hektar.
Setelah beras, pemerintah berusaha untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri dan impor dengan mendatangkan (impor) gandum. Bila semula diberikan kewenangan ke Bulog, maka kewenangan untuk mengimpor gandum itu pun akhirnya diserahkan ke Bogasari (swasta). Awalnya, pemerintah mencoba untuk membudidayakan jenis tanaman gandum, tetapi upaya ini sulit terwujud, karena tanaman gandum memang kurang cocok untuk jenis tanah pertanian di Indonesia.
Jadi isu pangan dengan impor yang saat ini terjadi, bisa disebut sebagai warisan dari pemerintahan sebelumnya. Mungkinkan kebijakan impor pangan ini menjadi lahan subur korupsi seperti yang disentil Prabowo? Jika sejarah pemerintahan Soekarno bisa mencetak prestasi yang cukup gemilang, kenapa di masa transpormasi pertanian dengan seabrek aplikasi teknologi yang kini bergeliat, sejarah itu tak mampu diulang? Semoga topik ini kembali mengemuka di agenda dialog Pilpres berikutnya (*)