Oleh : Muh Kashai Ramdhani Pelupessy (Magister Psikologi Sains, Lulusan Universitas Negeri Yogyakarta)

OPINI yang di tulis bung Iskandar Pelupessy di kanal BeritaBeta.com (lihat: https://beritabeta.com/opini/covid-19-dan-lumpuhnya-dunia-usaha/) adalah satu dari sekian banyak ekspresi kekecewaan terhadap lambatnya penanganan wabah Covid-19.

Iskandar mengemukakan beberapa data terkait jumlah PHK yang bakal melonjak tajam di tahun ini. Semua itu akibat dari wabah Covid-19 yang merembet pada lesunya ekonomi dalam negeri.

Tentu, data-data yang dikemukakan itu benar adanya. Bahwa kondisi ekonomi kita sedang mengalami resesi. Situasi lesunya ekonomi tak hanya terjadi di Indonesia, bahkan di beberapa negara juga mengalami hal serupa.

Di lansir dari cnbcindonesia.com mengemukakan bahwa ekonomi Singapura dan Malaysia juga mengalami resesi akibat wabah Covid-19. Situasi global di Asia Tenggara ini tentu berakibat pada Indonesia sebagai mitra kerja di tingkat Asean.

Dalam situasi paceklik ini, juga berdampak pada sisi psikologis masyarakat seperti yang di istilahkan Giorgio Agamben, filsuf Italia, yakni “homo sacer”. Homo sacer ialah masyarakat yang senantiasa dipungut pajak dalam situasi paceklik. Melalui jalur-jalur non-gratisan, masyarakat dimintai membayar segala hal agar bisa lolos dari jerat hukum. Misalnya, rapid test berbayar.

Alhamdulillah, pada beberapa hari lalu, Pemerintah Provinsi Maluku sudah menggratiskan rapid test ini. Namun, rapid test gratis sepertinya tidak berlaku bagi kelompok usaha swasta multinasional, seperti maskapai Lion Air.

Di lansir dari kompas.com bahwa Lion Air memberi tarif 95.000 rupiah untuk sekali rapid test. Tentu, rapid test berbayar ini masuk dalam hitungan “untung-untungan” bagi maskapai, dan sebagian akan masuk pajak negara. Beruntungnya, masyarakat kita suka tolong-menolong.

Itulah iklim psikologis masyarakat kita di masa pandemi sekarang ini, yakni menjadi “homo sacer” berwatak suka tolong-menolong. Watak ini sangat berdampak baik bagi pemulihan ekonomi dalam negeri.

Meskipun proses ini bagus, namun selama wabah covid-19 ini belum berakhir, maka proses pemulihan ekonomi melalui langkah-langkah tersebut hanya isapan jempol semata.

Bagaimana memulihkan ekonomi, yang di satu sisi masalah utamanya belum terselesaikan? Intinya, semua harus fokus pada upaya menurunkan kurva wabah covid-19. Sampai hari ini, kurva covid-19 masih terus naik.  Apalagi, upaya menurunkan angka kurva wabah covid-19 dalam situasi mistrust (ketidakpercayaan) sekarang ini adalah tantangan bagi diri kita sendiri.

Saat ini, kondisi psikologi masyarakat sedang berada di tubir “mistrust”. Ketidakpercayaan antar sesama, baik terhadap media, para ahli, apalagi terhadap pemerintah. Seolah-olah, dalam pandangan masyarakat bahwa wabah ini hanya tipu muslihat mencari keuntungan materil semata.

Entah benar atau tidak, namun intinya adalah wabah ini benar-benar ada. Sejarawan biologi kaliber dunia, Yuval Noah Harari, mengatakan dengan nada tersirat bahwa wabah selalu muncul dalam rentang sejarah umat manusia.

Dulu, di tahun 1330 pernah muncul wabah “black death” (maut hitam), juga di abad 15 muncul pandemi. Dan sekarang, tahun 2020 muncul wabah covid-19. Artinya, dalam pandangan sains, hadirnya wabah ini benar-benar ada.

Sekarang, yang menjadi pertanyaannya ialah mengapa ada publik yang tidak percaya? Dalam ulasan filsuf abad modern asal Barcelona, Santiago Zabala, secara tersirat mengatakan bahwa semua ini ulah para politisi populis.

Para politisi populis ini yang memanipulasi publik, sembari menyangkal situasi darurat sekarang ini. Mereka menggandakan retorika rasisme-agama bahwa semua ini tidak benar, Tuhan tidak pernah menghukum umat-Nya, adalah pengecualian dari langkah ikhtiar menyelesaikan wabah sekarang ini.

Tulis Santiago Zabala dalam artikelnya berjudul “The corona-virus pandemic is a threat to populist strongmen” terbit 21 April 2020 di ALJAZEERA, bahwa retorika semacam itu malah akan membuat masyarakat semakin tidak percaya (mistrust) terhadap pernyataan akademisi, para ahli, bahkan terhadap pemerintah. Artinya, ketidakpercayaan ini akan menambah daftar panjang atas proses penyelesaian wabah covid-19.

Puncak ketidakpercayaan publik bisa kita lihat dari kejadian pengambilan jenazah secara paksa di Ambon beberapa hari yang lalu. Inilah situasi psikologi politik masyarakat kita sekarang ini.

Kalau situasi ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka wabah ini akan berakhir dalam rentang waktu yang cukup lama. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa inilah inti dibalik lumpuh dan terhambatnya pemulihan dunia usaha, akibat dari munculnya gejala politisi populis yang memainkan ketidakpercayaan publik.

Lantas, bagaimana solusinya? Dalam pandangan psikologi politik, menukil pernyataan Slavoj Zizek, bahwa kita harus mengupayakan solidaritas publik. Mengupayakan solidaritas publik adalah cara ampuh mengatasi pandemi covid-19 sekarang ini. Ada dua tahap untuk bisa sampai pada solidaritas publik.

Pertama, pemerintah harus mengedukasi masyarakat tentang wabah covid-19 ini dengan cara-cara humanis berbasis ke-lokal-an dengan menggandeng tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh adat.

Sebetulnya, Maluku sudah punya perangkat psikologis berbasis ke-lokal-an untuk menyelesaikan setiap masalah. Misalnya, ada nilai-nilai lokal yang bersifat psikologis seperti “potong di kuku rasa di daging” atau “sagu salempeng patah dua”. Nilai-nilai ini harus dikaitkan dengan proses penanganan wabah covid-19 melalui komunikasi intensif bersifat top-down dari pemerintah terhadap para tokoh-tokoh tersebut.

Kedua, transparansi penyaluran dana wabah covid-19 ini harus betul-betul di sosialisasikan kepada publik. Proses sosialisasi ini mungkin bisa melalui baliho yang berisi “anggaran penyaluran dana” disertai bukti foto dan sejenisnya. Baliho harus di pasang di setiap jalan raya, atau di kantor kelurahan.

Upaya ini untuk menjaga ritme kepercayaan publik terhadap pemerintah. Menurut kami, dengan cara seperti itulah, kita dapat menekan angka kurva wabah covid-19 dan keluar dari masa pandemi sekarang ini.

Dengan demikian, barulah kita beralih kepada proses pemulihan ekonomi, sehingga dunia usaha tidak lumpuh yang berakibat pada PHK (***)