Dulu, di tahun 1330 pernah muncul wabah “black death” (maut hitam), juga di abad 15 muncul pandemi. Dan sekarang, tahun 2020 muncul wabah covid-19. Artinya, dalam pandangan sains, hadirnya wabah ini benar-benar ada.

Sekarang, yang menjadi pertanyaannya ialah mengapa ada publik yang tidak percaya? Dalam ulasan filsuf abad modern asal Barcelona, Santiago Zabala, secara tersirat mengatakan bahwa semua ini ulah para politisi populis.

Para politisi populis ini yang memanipulasi publik, sembari menyangkal situasi darurat sekarang ini. Mereka menggandakan retorika rasisme-agama bahwa semua ini tidak benar, Tuhan tidak pernah menghukum umat-Nya, adalah pengecualian dari langkah ikhtiar menyelesaikan wabah sekarang ini.

Tulis Santiago Zabala dalam artikelnya berjudul “The corona-virus pandemic is a threat to populist strongmen” terbit 21 April 2020 di ALJAZEERA, bahwa retorika semacam itu malah akan membuat masyarakat semakin tidak percaya (mistrust) terhadap pernyataan akademisi, para ahli, bahkan terhadap pemerintah. Artinya, ketidakpercayaan ini akan menambah daftar panjang atas proses penyelesaian wabah covid-19.

Puncak ketidakpercayaan publik bisa kita lihat dari kejadian pengambilan jenazah secara paksa di Ambon beberapa hari yang lalu. Inilah situasi psikologi politik masyarakat kita sekarang ini.

Kalau situasi ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka wabah ini akan berakhir dalam rentang waktu yang cukup lama. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa inilah inti dibalik lumpuh dan terhambatnya pemulihan dunia usaha, akibat dari munculnya gejala politisi populis yang memainkan ketidakpercayaan publik.

Lantas, bagaimana solusinya? Dalam pandangan psikologi politik, menukil pernyataan Slavoj Zizek, bahwa kita harus mengupayakan solidaritas publik. Mengupayakan solidaritas publik adalah cara ampuh mengatasi pandemi covid-19 sekarang ini. Ada dua tahap untuk bisa sampai pada solidaritas publik.

Pertama, pemerintah harus mengedukasi masyarakat tentang wabah covid-19 ini dengan cara-cara humanis berbasis ke-lokal-an dengan menggandeng tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh adat.

Sebetulnya, Maluku sudah punya perangkat psikologis berbasis ke-lokal-an untuk menyelesaikan setiap masalah. Misalnya, ada nilai-nilai lokal yang bersifat psikologis seperti “potong di kuku rasa di daging” atau “sagu salempeng patah dua”. Nilai-nilai ini harus dikaitkan dengan proses penanganan wabah covid-19 melalui komunikasi intensif bersifat top-down dari pemerintah terhadap para tokoh-tokoh tersebut.

Kedua, transparansi penyaluran dana wabah covid-19 ini harus betul-betul di sosialisasikan kepada publik. Proses sosialisasi ini mungkin bisa melalui baliho yang berisi “anggaran penyaluran dana” disertai bukti foto dan sejenisnya. Baliho harus di pasang di setiap jalan raya, atau di kantor kelurahan.

Upaya ini untuk menjaga ritme kepercayaan publik terhadap pemerintah. Menurut kami, dengan cara seperti itulah, kita dapat menekan angka kurva wabah covid-19 dan keluar dari masa pandemi sekarang ini.

Dengan demikian, barulah kita beralih kepada proses pemulihan ekonomi, sehingga dunia usaha tidak lumpuh yang berakibat pada PHK (***)