Sekian lama dia mendidik rakyat di Kutai, Tenggarong dan Samarinda. Setelah mendegar  kabar proklamasi  kemerdekaan  republik oleh Soekarno-Hatta dari Jakarta, Sangadji  mengkoordinir suatu perjalanan panjang dari Samarinda ke Banjarmasin  untuk bertemu dengan pimpinan BPRI untuk mengabari kemerdekaan, mengibarkan bendera merah putih dan memberikan kesadaran kepada rakyat di daerah-daerah yang dilaluinya.

Dalam perjalanan  Sangadji berhasil ditangkap Belanda di Marabahan Kalimantan Selatan, dan pada April 1946 dia dipenjara di Banjarmasin, yang lokasi penjaranya sekarang ditempati Gedung Pos Besar Banjarmasin.

Penjara  penuh sesak tahanan, dari penangkapan besar-besaran  yang dilakukan Belanda akibat pemberontakan di tiga tempat, yakni 9 November 1945 di Banjarmasin, 5 Desember 1945 di Marabahan, dan pemberontakan “Trekesuma” di Barabai 19-20 Maret 1946.

Saking sesaknya penjara, sehingga tahanan yang mengalaminya  hanya bisa berdiri, sukar bernapas, bahkan kelaparan. Mereka hanya diberi makan sekali sehari, dengan porsi sepiring dibagi empat. Konon saking lapar kulit pisang yang dilempar sipir penjara, akan menjadi santapan dan rebutan tahanan.

Dalam situasi itu Sangadji tidak kendor keyakinan atas kemerdekaan republik. Dia masuk dengan gagah, ayunan langkahnya  sebagai prajurit  yang menang perang.  Seruan merdeka bergemuruh sebagai sambutan kepadanya dari bilik suara yang penuh sesak itu.

Bahkan dari bangsal D bilik penjara yang besar, yang penuh sesak tahanan bergema lagu Indonesia Raya. Polisi dan sipir penjara tidak bisa berbuat apa-apa menyaksikan situasi itu.

Dalam Majalah Mandau yang diterbitkan Ikatan Perjuangan Kalimantan di Jogyakarta 1948, Si Jago Toea  ini  menceritakan : “Keadaan kami  ketika itu dalam penjara adalah sebagai daerah merdeka, daerah republik di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada pamong prajanya,  ada polisinya, ada kadi-nya dan terutama pemuda-pemuda sebagai prajurit  menjadi isi tempat tahanan itu”.