Kisah Heboh Mahasiswa UGM Diperkosa di Pulau Seram (Bagian-1)

BERITABETA, Ambon – Kasus pemerkosaan yang menimpa mahasiswi Universitas Gadja Mada (UGM) yang sedang menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) mencuat ke publik dan menjadi perbincangan. Kasus tersebut dialami Agni (samaran) saat KKN di Pulau Seram, Maluku pada Juni 2017 silam.
Agni yang merupakan mahasiswi Fisipol angkatan 2014 muncul dan menceritakan kejadian yang dialaminya, setelah setahun kisah tragis itu menimpanya.
Kasus tersebut baru mencuat dan menjadi polemik di internal kampus setelah Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung menulis kasus tersebut dengan judul “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan”. Berikut kisahnya :
Sorot mata Agni kosong. Pandangannya menerawang jauh. Dalam kepalanya, ia berusaha memanggil ulang seluruh memori tentang apa saja yang telah ia lewati sejauh ini.
Kejadian itu telah berlalu setahun yang lalu. Namun, Agni masih kerap takut dan trauma ketika membayangkannya kembali. Menurut pengakuannya, ia beberapa kali ketakutan saat malam hari sehingga tidak tidur seharian dan sempat berpikir untuk bunuh diri karena kejadian tersebut.
Agni adalah seorang mahasiswa Fisipol angkatan 2014. Ia mengikuti program KKN ke Pulau Seram, Maluku pada bulan Juni 2017. Dirinya mengambil program KKN antarsemester yang berada dalam rentang bulan Juni hingga Agustus. Saat KKN, Agni mengalami kekerasan seksual oleh teman satu timnya sendiri.
Hari Jumat, tanggal 30 Juni 2017, Agni hendak menemui salah satu teman perempuannya untuk membicarakan program KKN. Lokasi pondokan temannya berjarak cukup jauh, sementara hari yang beranjak malam dan listrik yang mati membuat kondisi desa gelap.
Tidak hanya itu, di sekitar lingkungan tersebut juga terdapat babi hutan berkeliaran. Akhirnya, Agni mampir ke pondokan laki-laki yang berada di antara rumah inap Agni dan pondokan temannya yang ia tuju.
Pikirnya sekalian mencari teman untuk menemaninya pergi. Tak lama setelah kedatangannya, sekitar pukul tujuh, hujan turun. Ada empat orang di pondokan tersebut, dua orang di antaranya adalah teman subunit Agni, dan sisanya pemuda setempat yang kebetulan singgah.
Sementara bapak dan ibu pemilik rumah berada di dalam pondokan. “Sambil menunggu hujan reda, aku ngobrol dengan mereka di ruang tamu,” kata Agni.
Hujan reda sekitar tengah malam. Agni merasa tidak enak hati pulang larut malam dan membangunkan pemilik rumah, sebab pintu rumah pasti sudah dikunci dan ia tidak membawa kunci cadangan.
Agni pun memutuskan menginap. Kala itu, tersisa tiga orang di pondokan tersebut yaitu HS (inisial) dan dua pemuda desa. Namun, selang beberapa saat setelah hujan reda, kedua pemuda desa pulang ke rumah masing-masing.
Setelah pemuda desa pulang, HS pun mempersilakan Agni beristirahat di kamar. Di rumah tersebut hanya ada satu kamar yang disediakan untuk mahasiswa KKN. Terbatasnya tempat dan segala kondisi di luar membuat Agni dan HS pun tidur satu kamar dengan posisi tidur yang berjauhan.
Dini hari Agni terbangun karena merasa gerah. Masih dengan mata terpejam, ia merasakan tangan HS memeluk tubuhnya. Setelah itu, HS mulai menjalankan aksinya. Agni masih memejamkan mata, memutuskan untuk pura-pura tidur dan berharap pelaku segera menghentikan perbuatannya. Agni mengatakan bahwa ia takut bila berteriak warga yang datang justru menilai bahwa kejadian tersebut memang dikehendakinya.
Agni sempat membalikkan badan menjauhi HS, tetapi HS menarik badannya hingga telentang kembali dan mengulangi perbuatannya. Pelaku menyingkap baju Agni dan menyentuh tubuh Agni.
Tidak berhenti di sana, HS terus beraksi dengan menyentuh bagian-bagian sensitive korban. Pada titik di mana Agni merasakan sakit dia bagian alat vitalnya, ia akhirnya memberanikan diri untuk bangun dan mendorong HS menjauhi dirinya.
“Saat itu aku tidak mampu berkata-kata. Aku hanya tanya ‘kamu ngapain?’ dengan nada sedikit tinggi, padahal sebenarnya aku sangat marah,” terang Agni sambil menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
Esok harinya Agni memutuskan untuk menghubungi temannya yang di Jogja untuk bercerita karena merasa gelisah. Teman Agni lantas menyuruhnya untuk melaporkan pelaku kepada Koordinator Mahasiswa Subunit (Kormasit), Koordinator Mahasiswa Unit (Kormanit), dan Dosen Pendamping Lapangan (DPL).
Agni ragu, takut teman-temannya tidak percaya dan justru menyalahkannya. Namun akhirnya, teman Agni segera menghubungi beberapa anggota subunit Agni dan menceritakan kejadian tersebut.
Tak butuh waktu lama sampai kejadian tersebut diketahui seluruh anggota subunit. Mereka pun sepakat melaporkan HS kepada Adam Pamudji Rahardjo, DPL mereka. Teman-temannya meminta HS mengakui perbuatannya melalui telepon kepada Adam. Lewat pengeras suara, Agni mendengar percakapan mereka dan merasa bahwa cerita yang disampaikan HS kepada Adam kurang sesuai dengan yang terjadi sesungguhnya.
HS hanya mengatakan bahwa ia khilaf meraba dan memainkan bagian tubuh Agni, tanpa menyebutkan bahwa tindakan itu dilakukan tanpa izin.
HS juga tidak menyampaikan bahwa kejadian tersebut dilakukannya ketika Agni tertidur dengan berpakaian lengkap dan berkerudung. Pada titik itu, Agni mulai khawatir bila informasi yang disampaikan HS secara tidak lengkap tersebut membuat Adam menilai bahwa peristiwa yang dialaminya terjadi atas dasar saling suka.
Kekhawatiran Agni terbukti dengan pernyataan salah satu pejabat di DPkM yang tidak ingin disebutkan identitasnya. Atas kejadian tersebut, pejabat tersebut menilai bahwa penyintas turut bersalah.
Selain menilai bahwa Agni ikut berperan dalam terjadinya kejadian, ia juga menyayangkan Agni yang melibatkan pihak luar, yaitu Rifka Annisa.
Menurutnya kasus Agni lebih baik diselesaikan secara baik-baik dan kekeluargaan, sehingga tidak mengakibatkan keributan. “Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa jawa) pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” tuturnya menganalogikan.
Begitu laporan tersebut sampai, Adam memutuskan untuk mengusulkan penarikan HS kepada Korwil Maluku, Heru Sasongko, pada tanggal 7 Juli 2017. Namun, dasar penarikan tersebut adalah HS sudah tidak diterima oleh teman-temannya sehingga tidak lagi kondusif menjalankan program. HS pun ditarik dari lokasi KKN dan kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 2017.
Seminggu setelah ditariknya HS dari lokasi kejadian, pada tanggal 16 Juli 2017, beberapa pejabat DPkM mengunjungi lokasi kejadian. Mereka adalah Adam (DPL), Heru (Korwil), dan Djaka Marwasta (Kepala Subdirektorat KKN). Pada saat bertemu dengan Agni itu pula Djaka menyatakan bahwa dirinya tidak bisa memberikan sanksi DO kepada HS.
Alasannya sanksi DO harus melalui prosedur pengajuan aduan ke komite etik UGM. Sementara kasus kekerasan seksual yang dialami Agni dianggap bukan termasuk pelanggaran berat sehingga tidak perlu penanganan yang serius.
Alasan yang dimaksud Djaka mengacu pada Keputusan Rektor UGM No. 1699/UN1.P/SK/HUKOR/2016 tentang Pedoman Pelecehan di Lingkungan UGM. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa insiden pelecehan yang berkaitan dengan lebih dari satu departemen akan dibentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus.
Mengingat HS berasal dari Fakultas Teknik dan Agni dari Fisipol, maka penyelesaian kasus tersebut seharusnya memang melibatkan tim investigasi, bukan perwakilan DPkM secara sepihak.
Sayangnya, menurut pengakuan Agni, ketika itu Djaka bahkan tidak memberitahu peraturan dan prosedur penyampaian aduan kepada Agni. “Beliau hanya sempat mengatakan, kalau tim investigasi atau polisi terlibat, maka prosesnya akan lebih menyakitkan bagiku,” jelas Agni.
Terus Mengadvokasi Diri
Sejak kunjungan pihak DPkM ke lokasi KKN-nya, Agni ragu tentang pandangan pihak-pihak tersebut atas kasusnya. Sejak pulang dari KKN, penyintas terus mengumpulkan keterangan dari beberapa pihak yang terlibat dalam penyelesaian kasus ini. Awal bulan September 2017, ia berusaha menemui Djaka untuk menanyakan apakah DPkM mengirimkan laporan atau surat rekomendasi kepada Fakultas Teknik (selaku fakultas HS) atas kejadian yang ia alami.
“Aku berusaha mencapai beliau dengan mengirimkan pesan, surel, bahkan beberapa kali berkunjung ke kantor LPPM (kala itu) dan Fakultas Geografi, tetapi hasilnya nihil. Beliau (Djaka) menolak kuajak bicara.” kata Agni.
Pertengahan bulan November, ia mendapati nilai KKN-nya C. Agni tentu kecewa. Baginya, nilai itu tidak sepadan karena ia merasa telah melaksanakan program KKN sebaik teman-temannya yang mendapat nilai varian A. Agni pun mengirim pesan pada DPL, menanyakan perihal nilai tersebut. Akan tetapi, Adam menyuruh Agni untuk menanyakan langsung pada ketua KKN yaitu Djaka.
Berdasarkan pengakuan Agni, Adam mengatakan bahwa nilainya termasuk dalam salah satu hak prerogatif Djaka. Namun sayang, Agni mengatakan bahwa ketika ditemui Djaka menolak menjawab dan menyuruh DPL yang bicara padanya. “Hak prerogatif? Apa itu hak prerogatif?” kata Agni menirukan Djaka yang balik bertanya.
Ketika Agni menemui Adam, ia pun sependapat dengan penilaian pejabat DPkM yang menganggap bahwa Agni turut bersalah. Ia mengaku, sejak pertemuan di lokasi KKN kala itu, baik dirinya, Heru, maupun Djaka memutuskan untuk memberi sanksi kepada Agni dan HS. Mereka menilai bahwa baik Agni maupun HS sama-sama berkontribusi pada terjadinya peristiwa tersebut.
“Ini sudah berlalu, sudah terjadi seperti itu. Diterimalah, sebagai pengalaman. Mau apa lagi? Saya sendiri merasa malu dengan warga di sana,” kata Adam pada Agni. Tidak hanya itu, Agni juga mengatakan bahwa Adam sempat memintanya untuk bertobat atas perbuatannya.
Beberapa saat setelah mengetahui nilainya, penyintas mendapati HS telah menjalani KKN tepat di periode selanjutnya setelah ia dijatuhi sanksi. Atas kejanggalan tersebut, penyintas membulatkan tekad untuk melaporkan kasusnya secara resmi. “Semenjak pulang KKN aku memutuskan untuk melaporkan peristiwa ini, tetapi aku tidak tahu jalannya ke mana. Jadi aku mencari-cari sendiri dengan cara mencoba-coba menemui beberapa pihak,” kata Agni.
Pertengahan bulan Desember 2017, penyintas berhasil menemui Poppy Sulistyaning Winanti (Wakil Dekan Fisipol Bidang Kerjasama, Alumni dan Penelitian) dan Wawan Mas’udi (Wakil Dekan Fisipol bagian Akademik dan Kemahasiswaan). Dari pertemuan tersebut Agni pun menceritakan detail kejadian yang ia alami, termasuk tentang nilai KKN-nya. Laporannya mulai diproses secara resmi di tingkat fakultas dan diupayakan penyelesaiannya sampai taraf universitas.
Gayung bersambut. Tak lama setelah laporan tersebut resmi masuk ke Rektorat, penyintas bertemu Ika Dewi Ana, Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Dalam pertemuan tersebut, ada beberapa pihak yang turut hadir yaitu Poppy selaku perwakilan Fisipol, Ambar Kusumandari selaku Kepala Subdirektorat KKN yang baru, serta Budi Wulandari dan Sofia Rahmawati sebagai perwakilan dari Rifka Annisa.
“Dalam forum tersebut, saya menyampaikan bahwa saya ingin HS dikeluarkan dan dosen-dosen yang terlibat dalam hal ini turut bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan,” tutur Agni.
Menanggapi tuntutan Agni, Ambar justru membenarkan pemberian nilai C oleh DPL, setelah sebelumnya mengonfirmasi bahwa jarak pondokan HS tidak jauh dari pondokan Agni. “Kalau gitu, berarti Pak Adam tidak sepenuhnya bersalah. Seandainya kamu tidak menginap di sana kan tidak akan terjadi, tho?” begitu yang Agni ingat atas ucapan Ambar. Namun, setelah kami berusaha untuk meminta keterangan Ambar mengenai hal ini, ia menolak untuk diwawancara karena alasan kesibukan. (Bersambung)