Kemudian Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, mengatur pengecualian atas mobilitas orang keluar-masuk wilayah batas negara dan wilayah untuk fungsi ekonomi penting.

Pada awal masa ‘kenormalan baru’ yang ditandai dengan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar maupun pembatasan sosial di beberapa daerah, juga bertujuan memperbaiki kondisi ekonomi.

“Padahal fase kedaruratan kesehatan belum usai, dengan indikasi masih tingginya angka positif covid-19. Bahkan pada 9 Juli 2020, pernah mencapai angka tertinggi, yaitu di atas 2.500 orang. Dalam situasi kedaruratan kesehatan, maka prioritas utama adalah melindungi hak atas kesehatan dan hak untuk hidup,”

Dengan mengutamakan kebijakan kesehatan publik yang kuat, menurut Komnas HAM, justeru akan menjaga agar sistem ekonomi tidak semakin terpuruk.

Pada sisi lain juga, Birokratisasi Pandemi dan persyaratan administrasi yang panjang dan berbelit, misalnya dalam pengajuan dan penerapan PSBB serta pemenuhan hak sosial ekonomi masyarakat, menunjukkan penanggulangan pandemik Covid-19 tidak beradaptasi dengan karakter kondisi kedaruratan dan eskalasi penyebaran yang eksponensial.

“Penerapan PSBB berbasis pada administrasi wilayah tidak efektif dalam membendung pandemi Covid-19, pun dengan inisiatif berbagai pemerintah daerah yang mengajukan permohonan PSBB kepada Menkes, namun ditolak, padahal penting dari aspek mitigasi sejak dini,”.

Lantas di kota Ambon, lanjut Komnas HAM dalam rilis itu, R (4) yang mengalami penyakit Anemia Aplastik, pada 20 Mei 2020, ketika kondisinya memburuk, diduga tidak mendapatkan akses layanan kesehatan yang memadai. Kemudian di Padang, pasien usia 1 bulan inisial I, yang dirujuk ke sebuah rumah sakit, juga akhirnya meninggal diduga akibat tidak mendapatkan pelayanan.

Soal ketersediaan, meskipun rasio tes Covid-19 mengalami kenaikan, sehingga secara nasional telah memenuhi rasio yang memadai sebagaimana ditentukan WHO, yaitu 1 orang per 1000 penduduk atau 3.500 per 1 juta penduduk, namun secara distribusi, masih terkonsentasi di DKI Jakarta.

Sampai 26 Juli 2020, rasio tes di DKI Jakarta yakni 4 orang per 1000 penduduk. Namun wilayah lain di luar DKI Jakarta, rasionya masih di bawah standar WHO. Hal ini berakibat pada keterbatasan identifikasi dan jangkauan deteksi penyebaran pandemi Covid-19. Dimana, sekitar 80 persen penderita positif tidak bergejala.

Selain itu, meskipun jumlah rumah sakit (RS) rujukan Covid-19 semakin meningkat, dari awalnya berjumlah puluhan menjadi ratusan hingga saat ini, namun dari sisi geografis, belum mencukupi karena masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Misalnya, di Maluku hanya ada 3 RS rujukan, Sulawesi Utara 1, Gorontalo 1, Nusa Tebnggara Timur 3, dan Kalimantan Selatan 2. Padahal tren menunjukkan, penyebaran pandemi Covid-19 bergerak ke luar Pulau Jawa, misalnya di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.

Begitu pula dengan wilayah kepulauan yang belum banyak terjangkau, sehingga diperlukan adanya upaya menyediakan rumah sakit rujukan Covid-19 yang adaptif dengan situasi setempat.

Terkait beberapa hal di atas, terdapat pula poin-poin penting yang menjadi kesimpulan Komnas HAM, seperti kepatuhan masyarakat dan inkonsistensi kebijakan, hak atas informasi pemerintah, dan perlindungan data pasien Covid-19 serta dugaan kebocoran jual beli ratusan ribu data pasien.

“Ini merupakan tragedi dan wajib diusut tuntas oleh negara, agar pihak yang bertanggungjawab ditindak, dan supaya tidak terulang lagi,”

Di Ambon misalnya, terjadi penyebaran identitas 45 warga Waihaong, Kecamatan Nusaniwe yang melakukan rapid test. Dimana, 33 warga dengan hasil reaktif dan menjalani masa isolasi di LPMP sejak 8 Mei 2020.

“Persoalan muncul ketika beredar informasi melalui pesan whatsapp, yang isinya memuat nama lengkap ke-33 warga Waihaong, yang hasil rapid testnya reaktif. Akibat kejadian tersebut, ke-33 warga Waihaong merasa trauma dan didiskriminasi sebagai warga Kota Ambon,” ungkap Komnas HAM. (BB-BBC)