Setelah kembali ke Tanah Air Indonesia Tahun 1951, Beliau kemudian diangkat menjadi Letnan Muda Udara I dan ditenpatkan di Komando Operasi di Halim Perdanakusuma, selanjutnya ditempatkan di Skadron 3 hingga pada Tahun 1952 naik pangkat menjadi Letnan Udara II.

Setelah naik pangkat menjadi Letnan Udara I di tahun 1954, kemudian mendapatkan kesempatan kembali pergi ke Inggris untuk mengikuti Pendidikan Penerbang Pesawat Pancargas pada RAF Centre Flying School di Little Resington selama satu tahun.

Tahun 1955 bertugas kembali ke India dalam rangka peninjauan kesatuan-kesatuan pesawat Jet Vampire dari Indian Air Force selama dua bulan. Setelah pulang dari India dengan pangkat Acting Kapten Udara, kemudian ditempatkan sebagai Perwira Instruktur Penerbang di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Meniti karir berikutnya pada bulan Mei 1956 sebagai perwira penerbang Skadron 3 diperbantukan pada Komando Group Komposisi.

Pada bulan Juni 1956 kembali mendapatkan kesempatan yang ketiga kalinya dikirim ke luar negeri dalam rangka menghadiri perayaan hari Angkatan Udara Republik Uni Sovyet (Rusia).

Leo Wattimena pada tanggal 18 April 1956, menetapkan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan mempersunting seorang gadis Corrie Dingemans. Dari pernihakannya dikaruniai empat anak, Clifford Joseph Wattimena, Gunther Leonardus Wattimena, Patricia Maria Wattimena, dan Grace Riani Wattimena.

Dalam rangka memperkuat armada tempur yang dimiliki AURI pada tahun 1957, pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk membeli delapan buah Jet Vampire buatan Inggris. Kemudian AURI menugaskan Kapten Udara Leo Wattimena dan Kapten Udara Rusmin Nurjadin ditugaskan ke Inggris untuk belajar menjadi penerbang Pesawat Jet Vampire.

Selama mengikuti pendidikan instruktur lanjutan di Royal Air Force, kembali menunjukkan kualitasnya sebagai penerbang andal terbukti lulus dengan predikat satu. Pada masa itu mempersiapkan penerbang baru dengan generasi pesawat yang di pesan Indonesia, sebanyak delapan pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire dan itu merupakan pesawat jet pertama yang dimiliki AURI.

Penempatan penerbang untuk pesawat jet tempur de Havilland DH-115 Vampire adalah penerbang Leo Wattimena dan Rusmin Nurjadin. Selesai mengikuti latihan untuk mengawaki Pesawat Jet Vampire, keduanya kembali ke tanah air untuk mempersiapkan calon-calon penerbang Pesawat Jet Vampire, salah satunya Kapten Udara Sri Mulyono Herlambang.

“Tak heran jika dengan pesawat DH-115 Vampire sampai Mig-17 dan jet tempur, Bakat Leo Wattimena bisa mendapatkan Multi Ranting. mulai dari L-47J Piper Club, P-51 Mustang, Supersonik MiG-21 Fishbed”

Bakat luar biasa yang ditunjukan saat menerbangkan DH-115 Vampire untuk pertama kalinya itu, menghantarkan Leo Wattimena untuk dipercaya memimpin armada Vampire Skadron 11 Lanud Kemayoran (1 Juni 1957). Tercatat bahwa waktu itu Indonesia sudah memiliki 16 jet tempur buatan Inggris ini. Predikat yang disandangnya “sangat paham terhadap pesawat terbang” memang bukan omong kosong.

Keahlian tentang pesawat ditunjukkan ketika Sumarsono, penerbang MiG-21 Fishbed Skadron Udara 12 jatuh di Kemayoran. Keesokan harinya, bersama Rusmin segera turun tangan untuk menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat tersebut yang mengakibatkan penerbang Sumarsono gugur.

Saat itu, pada saat ingin menerbangkan pesawat buatan Uni Soviet itu, baru sekali take off and landing, kemudian turun kembali Leo Wattimena langsung berkomentar : “Ini pesawat jelek”. Meskipun begitu, tetap menerbangkan pesawat supersonik delta tersebut. Sementara di masa kejayaannya, bahwa pesawat supersonik delta merupakan pesawat unggulan produksi Uni Soviet.

Di luar negeri Beruang Merah (UNI Soviet), hanya Indonesia yang punya hingga dan sanggup membuat negara tetangga Australia harus memutar otak karena kekuatan pesawat yang dimiliki Indonesia. Ditambah lagi AURI diperkuat dengan Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber). Disaat itu pula, pesawat Pesawat Tupolev Tu-16 Badger (bomber) menjadi unggulan Uni Soviet, bahkan Amerika pun ingin memilikinya.

Karir sebagai Komandan Kesatuan Pancargas AURI, Pangkalan Udara Husein Sastranegara mulai bulan Februari 1957, dan Komandan Skadron 11 April 1957. Pada akhir tahun 1957 bersama rombongan mendapat tugas baru dengan missi pembelian pesawat, berangkat ke Negara Rusia dan negara-negara Eropa Timur selama dua bulan.

Sesampainya di tanah air setelah melaksanakan kunjungan tersebut dengan pangkat Mayor Udara mendapatkan tugas kembali belajar di Mesir selama tiga bulan untuk belajar mengenai penerbangan dan teknik.