Membangun Maluku dari Laut
Dampak moratorium memang sangat berpengaruh besar terhadap aktifitas usaha perikanan, karena saat ini pelaku usaha perikanan masih berpikir dua kali untuk berinvestasi dalam membangun Unit Pengolahan Ikan (UPI) di daerah, disebabkan selain sarana prasarana didarat kiranya mereka harus memiliki armada tangkap sebagai penyuplai bahan baku selain suplai dari nelayan lokal dan perijinan.
Dilain sisi kita tetap memberikan apresiasi positif terhadap upaya Menteri Susi untuk menegakan pilar kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan yang salah satunya memerangi Illegal fishing dan tegas melakukan penenggelaman kapal, namun kiranya juga setiap kebijakan perikanan yang diterbitkan baiknya juga dapat mengakomodir karakteristik dan kearifan lokal daerah didukung dengan peraturan turunan hingga mudah diimplementasikan dilapangan.
Maluku yang menjadikan kelautan dan perikanan sebagai sektor andalan untuk mendongkrak peningkatan pendapatan asli daerah, pastinya merasa dirugikan jika ada kebijakan yang tidak berpihak ataupun tidak kondusif untuk iklim usaha perikanan di Maluku apalagi sebagian besar masyarakat Maluku hidup di wilayah pesisir dan berprofesi sebagai nelayan.
KKP yang menjadi salah satu mitra Pemerintah Daerah dalam upaya memberdayakan masyarakat perikanan harus bijak melihat kondisi yang ada karena pola pendekatan pada daerah memiliki sumberdaya lautnya yang begitu besar tidak bisa dilakukan pendekatan kontinental.
UU 23/2014 memang mengamanahkan bahwa kewenangan pengelolaan laut untuk provinsi adalah hingga 12 mil laut serta terkait perijinan kapal perikanan masih sebatas sampai 30 GT yang akhirnya pada zona ini masih dikelola oleh nelayan tradisional dan skala menengah. Kapal-kapal perikanan di atas 30 GT yang notabene beroperasi diatas 12 mil laut semua terkait aktifitas usaha perjinannya masih melalui pusat yakni via Kementerian Kelautan Dan Perikanan dan para pelaku usaha ini memiliki fishing port di Maluku, namun sayangnya hasil perikanannya dibawa keluar untuk diekspor langsung tanpa memberikan konstribusi positif bagi pendapatan asli daerah Maluku (dulunya melalui laboratorium uji mutu DKP Maluku).
Apalagi tercatat sekitar 1.600 kapal yang beroperasi di laut Aru yang ijinnya diberikan KKP. Selain itu terkait ijin pemasangan rumpon diatas 12 mil laut pun diterbitkan oleh pusat hanya saja implementasinya di lapangan belum dilaksanakan dengan baik padahal banyak kapal yang melakukan penangkapan ikan pada wilayah ini.