Oleh : Soleman Pelu/JW Ambon  (Mafindo Maluku)

Pemilu legislatif sudah dilaksanakan empat kali pasca reformasi di Indonesia. Pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan untuk meningkatkan kualitas pemilu itu sendiri sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat.

Sehingga pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan.

Sebagaimana tertuang dalam Asas Penyelenggaraan Pemilu, salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu. Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 2 UU No 8 Tahun 2012).

Tetapi untuk mewujudkan pemilu demokratis seringkali terhambat karena baik secara langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, masih terjadi inequality (ketidaksetaraan) bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya.

Pesta demokrasi itu, meski sudah sekian lama berlangsung, tetap masih menjadi barang asing yang tak banyak terjangkau oleh sebagian kelompok difabel. Sejak tahun 2004, pemilu saat itu sudah memasukkan isu pentingnya mempertimbangkan aspek aksesibilitas pemilu.

Hak pilih sebagai salah satu bentuk partisipasi politik masuk kelompok hak sipil politik yang merujuk kepada Komponen hak-hak Sipil dan Politik atau International Convention on Civil and Political Right (ICCPR).

Dalam hal ini, hak politik dimaknai sebagai bagian dari partisipasi dalam pemerintahan negara melalui hak memilih dan dipilih. Secara implisit, hak politik ini terkategori dalam kelompok  yang dimaknai sebagai suatu hak yang dijamin oleh negara, tetapi dalam kondisi yang sangat darurat dapat dikurangi tanpa diskriminasi.

Melihat pemilu 2014, sepuluh tahun sejak isu difabilitas digaungkan, perhelatan pemilu belum beranjak dari ketidak berpihakan pada difabel.

KPU sebagai penyelenggara pemilu harus mendasarkan kerjanya pada beberapa prinsip-prinsip, yaitu independen, imparsialitas, integritas, transparansi, efisiensi, profesionalisme, dan berjiwa melayani.

Mengutamakan pada pelayanan (service-mindedness), dalam artian penyelenggara pemilu dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang mengutamakan semua pihak (partai, kandidat, dan masyarakat) dan mengedepankan tata kelola kerja yang dapat dipertanggung jawabkan dari aspek hukum.

Terkait dengan keterlibatan penyandang  difabel  dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum di Indonesia. Meski hak politik kelompok difabel telah tertuang dalam Undang- Undang No.19 tahun 2011, jutaan difabel tidak terakomodasi ketika pemilihan umum berlangsung.

Terhambatnya akses karena pemerintah belum sepenuhnya mengimplementasikan kebijakan tersebut. Di sisi lain, orang-orang difabel belum sadar akan hak politiknya dan masih malu untuk terlibat.

Dalam hal ini negara belum memenuhi hak kelompok difabel, karena negara memiliki persepsi tertentu terhadap kelompok ini. Negara memperlakukan mereka sebagai orang sakit. Padahal, mereka bukanlah orang sakit, tapi punya kebutuhan khusus.

JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) menemukan ketidakpahaman para penyelenggara pemilu dalam memberikan informasi hingga hari pemungutan suara.

Hak pilih merupakan salah satu bentuk dari partisipasi politik di negara demokratis yang dijelaskan oleh Miriam Budiarjo bahwa konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk kepemimpinannya.

Sehingga bagi warga negara, pemilu menjadi penyalur kehendak mereka dalam menentukan pemimpin yang akan memperjuangkan aspirasi mereka. Termasuk dalam pemenuhan dan memperjuangkan hak-hak kelompok penyandang disabilitas.

Perlindungan dan pemenuhan hak kelompok penyandang disabilitas pada pemilu sangat bergantung pada upaya penyelenggara pemilu dalam mempersiapkan dan melaksanakan pemilu yang berprinsip aksesibilitas.

Masalah perlindungan hak pilih penyandang disabilitas juga merupakan isu penting yang menjadi tugas berat tidak saja penyelenggara pemilu namun juga semua pihak.

Penyandang disabilitas sebagaimana dengan orang penyandang non disabilitas memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk hak dan kewajiban konstitusional, yang meliputi hak ekonomi, sosial, budaya.

Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi setiap hak yang dimiliki oleh setiap warga negaranya termasuk hak pilih pemilih disabilitas.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini yang di jelaskan dalam Media Indonesia. “Pada Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah pemilih penyandang disabilitas sebanyak 1.247.730 pemilih.

Adapun rincian soal pemilih disabilitas yaitu untuk pemilih tunadaksa sebanyak 83.182 pemilih, tunanetra sebanyak 166.364 pemilih, dan tunarungu sebanyak 249.546 pemilih.

Kemudian untuk pemilih dari tunagrahita ada 332.728 dan disabilitas yang masuk kategori lainnya sebanyak 415.910 pemilih “.  Menurutnya, data tersebut seharusnya bisa lebih besar lagi. Ia berharap KPU memastikan mengakomodasi data pemilih penyandang disabilitas dengan organisasi penyandang disabilitas.

Data yang dihimpun Perludem melalui Kementerian Kesehatan, merinci jumlah penyandang disabilitas sebagai berikut; tunanetra 1.780.195 orang, tunarungu 472.852 orang, tunawicara 164.683 orang, penyandang intelektual 402.815 orang, tunadaksa 616.385 orang, penyandang mental 170.120 orang, penyandang ganda 2.401.590 orang. Sehingga jumlah total 6.008.640 orang”.

Berkaitan dengan data yang dijelaskan oleh direktur eksekutif perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi data itu memacu kepada keterlibatan penyandang Difabel dalam pemilu, tetapi yang terjadi, masih banyak penyandang difabel yang belum memenuhi hak pilih dan dipilihnya itu.

Secara spesifik jaminan tentang aksesibilitas dalam pemilu dapat dirujuk pada Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), sebuah konvensi yang mengatur hak penyandang disabilitas.

Di pasal 29 CRPD  yang mengatur tentang partisipasi dalam kehidupan politik dan publik dijelaskan bahwa "Negara-negara harus menjamin hak politik penyandang disabilitas dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan orang lain, dan harus melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

(a) menjamin penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik secara penuh dan efektif, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas, termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih.”

Di Maluku khusunya, berdasarkan pantauan di sana ada kasus dimana seorang penyandang difabel yang berusia 60 tahun baru 1 kali melakukan pemilu. Kasus lainya terkait dengan penyediaan sarana untuk panyandang difabel  mencoblos bahkan tak sampai ke TPS sama sekali.

Lagi-lagi difabel harus didampingi bahkan dengan pendampingan tanpa kerahasiaan (Form C3 tidak diberikan apalagi ditandatangani).  Data pemantauan menunjukkan bahwa untuk alat coblos yang disediakan oleh KPU RI sekalipun, yakni di tingkat DPD, ketersediaannya di TPS, khususnya di TPS di mana pemantauan berlangsung hanyalah beberapa persen.

Itu berarti pemilih difabel nyaris setengahnya tetap tak bisa menikmati dengan kemampuan sendiri melakukan pencoblosan sebagaimana layaknya pemilih lain. KPU Pusat juga tidak menyediakan alat bantu mencoblos selain bagi kertas suara dengan alasan rumit secara teknis.

Temuan lainnya, ada beberapa TPS yang kurang ramah kepada kelompok difabel. Contoh lainnya, misalnya pemilih datang awal, ngantre. Karena yang bersangkutan tuna rungu, saat dipanggil tidak dengar. Akhirnya, dia balik (pulang) lagi.

Ini yang tidak diperhatikan oleh KPPS.  Kasus lainya yaitu masih banyak penyandang difabel yang belum terdata dengan alasan tidak memiliki KTP selayaknya orang biasa.

Masalah lainnya adalah aksesibilitas materi informasi pemilih dan konten media bagi penyandang difabilitas netra, rungu, dan intelektual. Penggunaan bahasa isyarat pun masih jarang.

Sama halnya dengan pamphlet pendidikan, brosur, dan papan reklame yang hampir tidak pernah dicetak dalam huruf braille atau tersedia dalam format audio atau bahasa sederhana yang bisa dengan mudah dipahami difabilitas netra, rungu, dan intelektual. Kasus ini secara tidak langsung dia melanggar dari undang-undang Demokrasi.

Hak difabel untuk berpartisipasi secara aktif dalam pesta demokrasi Undang-Undang Republik Indonesia No 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas Pasal 13 menyebutkan memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota dan pemilihan kepala desa atau nama lain.

Sayangnya,  hal ini banyak tidak dipahami. Informasi ini biasanya tidak sampai pada penyandang disabilitas. Kaum difabel banyak yang tidak tahu bagaimana menyuarakan kesulitan mereka, sehingga akhirnya pasrah dan menerima nasib.

Perlindungan atas hak pilih bagi kelompok penyandang disabilitas terdapat pada Pasal 350 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengisyaratkan agar TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau.

Termasuk oleh penyandang disabilitas, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas dan rahasia.

Hal tersebut untuk memenuhi hak kelompok penyandang disabilitas dalam aksesibilitas yang merupakan kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.

Pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.

Para penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara Indonesia berhak terlibat aktif dalam berkehidupan politik.

Pemilih penyandang disabilitas menjadi bagian penting dalam mengukur sukses tidaknya pelaksanaan pemilu. Namun, pijakan regulasi selama ini rupanya tidak sejalan dengan aspek teknis pelaksanaannya, bahkan tidak sejalan dengan tingkat kesadaran para kontestan pemilu itu sendiri.

Dapat dikatakan bahwa kapasitas pengetahuan akan isu penyandang disabilitas, baik bagi para pelaksana, pengawas, maupun pesertanya masih jauh dari harapan.

Semoga dalam masa persiapan menjelang Pemilu 2024 yang tahapannya akan dimulai pada Januari 2022, semua pihak dapat berkontribusi menciptakan pemilu yang ramah terhadap pemilih disabilitas (*)