BERITABETA.COM, Ambon – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku, Senin (08/03/2021), rencananya akan memeriksa tersangka Ferry Tanaya, seputar perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam jual beli lahan untuk proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) 10 MV, Namlea Kabupaten Buru, Maluku.

Proyek milik PT. PLN (Persero) Wilayah Maluku-Maluku Utara itu, terpaksa pembangunannya dihentikan. Sebab, lahannya, lebih awal di susupi praktik korupsi.

Dua tersangka sudah ditetapkan oleh penyidik Kejati Maluku. Adalah Abdul Gani Laitupa (AGL), PNS pada Kanwil BPN Provinsi Maluku, dan Ferry Tanaya (pemilik lahan). Sementara oknum pada PT. PLN (Persero) Wilayah Maluku-Maluku Utara, yang ditengarai turut terlibat dalam kejahatan ini, belum ditetapkan sebagai tersangka.

Informasi yang dihimpun beritabeta.com di lingkup kantor Kejati Maluku, Minggu (07/03/2021) menuturkan, agenda pemeriksaan terhadap tersangka Ferry Tanaya telah dijadwalkan oleh tim penyidik.

“Rencananya, Ferry Tanaya akan diperiksa pada Senin, 08 Maret 2021 besok,” kata sumber di lingkup kantor Kejati Maluku.

Menurutnya, penyidikan lanjutan perkara ini setelah paraperadilan Ferry Tanaya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Ambon Senin lalu. Seterusnya, penyidik akan menelusuri dugaan keterlibatan oknum lain dalam perkara ini.

Diduga masih ada oknum lain yang turut terlibat dalam markup anggaran jual beli lahan untuk proyek pembangunan PLTMG itu.

“Pengembangan lanjut dilakukan penyidik, sebab diduga selain Ferry Tanaya dan Abdul Gani Laitupa, indikasinya ada oknum lain juga yang terlibat. Hal ini masih digali lebih lanjut oleh penyidik,” ungkap sumber tersebut.

Sementara itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Maluku, Sammy Sapulette, masih irit bicara.

Ketika di konfirmasi beritabeta.com melalui saluran Whatsapp, Minggu (07/03/2021), tentang agenda pemerksaan Ferry Tanaya, namun jaksa yang pernah dinobatkan oleh Kejagung RI sebagai jaksa penyidik teladan dan jujur ini, belum bisa menyampaikan ihwal tersebut.

Sammy hanya menyarankan kepada wartawan untuk mengikuti proses penyidikan.  “Ikuti saja (prosesnya). Kalau memang ada pemeriksaan akan kami sampaikan,” anjur Sammy Sapulette kepada beritabeta.com Minggu, (07/03/2021).

Dua Kali Praperadilan

Penanganan perkara ini pihak Kejati Maluku sempat diguncang cobaan serta tantangan. Sebab, dua kali tersangka Ferry Tanaya melalui tim kuasa hukumnya mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Ambon.

Langkah tersebut dilakukan (Ferry Tanaya), sebagai bentuk perlawanan serta ketidakpuasannya terhadap tim penyidik Kejati Maluku, yang menetapkannya sebagai tersangka korupsi dalam jual beli lahan untuk pembangunan PLTMG di bumi Bupolo (julukan untuk kabupaten Buru).

Praperadilan pertama diajukan Ferry Tanaya pada Kamis 24 September 2020 lalu. Ferry Tanaya menang. Status tersangkanya digugurkan oleh hakim tunggal PN Ambon.

Di sini, Kejati Maluku tak gentar. Sebab mereka sudah memperoleh lebih dari dua alat bukti, seputar dugaan korupsi jual beli lahan untuk pembangunan PLTMG, yang melibatkan Ferry Tanaya.

Dari penyidikkan lanjutan perkara ini, tim penyidik Kembali menetapkan Ferry Tanya sebagai tersangka, untuk kedua kalinya.

Lag-lagi, Ferry Tanaya tak terima dengan status (tersangka) tersebut. Ia lalu ajukan praperadilan kedua kalinya ke PN Ambon. Namun hasilnya kandas. Ferry melalui kuasa hukumnya kalah di PN Ambon.

Upaya Praperadilan-nya ditolak oleh hakim tunggal PN Ambon, Andi Adha. Dengan begitu, status tersangka korupsi tetap di sandang (Ferry Tanaya).

Dugaan Markup NJOP

Seperti diketahui, proses jual beli lahan untuk proyek pembangunan PLTMG dii Namlea Kabaupaten Buru itu, sarat manipulatif. Indikasinya, oknum tertentu melakukan penggelembungan harga di lahan seluas 48.645,50 hektar, yang berada di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kabupaten Buru itu.

Pihak PT PLN wilayah Maluku - Maluku Utara selaku pembeli lahan dimaksud, dari Ferry Tanaya. Berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak atau NJOP hanya senilai Rp.36.000 per meter kubik persegi.

Tapi, dugaan kuat terjadi konspirasi alias kongkalikong antara oknum PLN wilayah Maluku dan Maluku Utara dengan penjual lahan tersebut. Diduga jual beli terjadi markup atau didongkrak naik menjadi Rp.131.600 per meter.

Padahal bila proses transaksi antara Ferry Tanaya dan PT. PLN wilayah Maluku-Maluku Utara dilakukan merujuk ke NJOP sebenarnya, maka lahan tersebut yang wajib dibayar (Pihak PLN) hanya senilai Rp1.751.238.000. nahasnya ketentuan NJOP justru disampingkan alias tidak dipakai dalam proses jual beli lahan dimaksud.

Ditengarai pihak PT. PLN (Persero) wilayah Maluku-Maluku Utara telah mengalokasikan anggaran secara tak wajar. Akibat penyelewengan dalam jual beli lahan tersebut menyebabkan kerugian bagi negara.

Faktanya, sesuai hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP Perwakilan Maluku, menemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp 6.081.722.920 atau Rp. 6 miliar lebih. (BB-SSL)